Social Icons

Pages

Rabu, 01 Februari 2017

Inovasi adalah kunci untuk penelitian kolaboratif



Bagi peneliti, bekerja pada pembangunan berarti berbicara dan bekerja lebih dari biasanya dengan rekan-rekan sesama peneliti. Kerangka baru dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) harus membantu menghidupkan kembali perdebatan lama mengenai keuntungan yang dari kolaborasi dan antar disiplin ilmu sebagai dasar untuk program aksi dan pembuatan kebijakan. Namun, perdebatan tersebut masih berkutat pada pembicaraaan dibanding program aksi di lapang. Seharusnya menjadi inti dari upaya strategis pelaksanaan SDG dan terus melangkah maju baik ke tingkat tertinggi dari kebijakan maupun tingkat terendah dalam pelaksanaannya. Apa yang jelas hilang tidak hanya perihal pendanaan dan kelembagaan untuk riset yang lebih kolaboratif guna menjawab pertanyaan kompleks dalam pembangunan maupun perhatian yang tepat untuk insentif, format dan alat-alat yang dapat mendorong peneliti untuk lebih berkolaborasi  - tanpa harus memilih antara kerja kolaboratif dan pekerjaan yang akan memajukan karir akademis mereka.

Kolaborasi vs Spesialisasi
Kolaborasi bukanlah standar dalam dunia riset: pelatihan akademis, kemajuan karir dan penerbitan semua yang ditetapkan oleh spesialisasi yang lebih besar. Hal ini khususnya pada kasus jurnal yang berganti menjadi jurnal online, yang dengan mudah menghubungkan para peneliti dengan agenda riset serupa di seluruh  dunia. Hanya sedikit bidang riset yang dibangun sebagai antar disiplin ilmu, seperti halnya dalam ilmu sosial, contoh yang paling jelas adalah geografi. Meningkatnya kompetisi antar akademik internasional adalah alasan lain. Ternyata kebalikannya dengan riset kolaborasi, riset generalis menjadikan para peneliti hanya berpengalaman musiman. Namun, inisiatif eksperimental dari seluruh dunia menunjukkan bahwa sesuatu dapat berubah - tanpa harus mengubah aturan akademik. Secara khusus, inovasi dalam penggunaan insentif, format dan alat-alat dapat menjadi kunci untuk mempromosikan riset kolaboratif.

Kolaborasi pada pekerjaan pemodelan
Alexis Drogoul, seorang peneliti informatika di Institut de Recherche pour le Développement, mengklaim bahwa kecerdasan buatan, latihan modeling khusus, dapat mendorong riset kolaboratif pada program pembangunan. Menurut Drogoul, yang telah menulis pada topik tersebut selama lebih dari dua dekade, jumlah pengetahuan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah model komputasi dari skenario pembangunan - seperti dampak perubahan iklim di delta Sungai Mekong - menawarkan kesempatan yang ideal untuk memiliki ekonom, sosiolog, ahli hukum dan para ilmuwan perubahan iklim duduk di meja yang sama. Dia berpendapat bahwa kurangnya kontrol atas pelaksanaan -khususnya di sisi teknis pemodelan (coding dijalankan oleh para ahli informatika) - pasti membawa para akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk fokus pada pengetahuan dibanding berdebat masalah disiplin ilmu. Melalui latihan seperti itu, ia berpendapat, akademisi akan memilih dan memberikan kontribusi pengetahuan yang bermakna dan yang paling relevan dari bidangnya masing-masing untuk menginformasikan model desain. Mereka kemudian menerjemahkannya bahwa pengetahuan merupakan kelompok multidisiplin dan para ahli coding dapat memahaminya. Dalam proses ini, mereka mengeksplorasi bagaimana  riset yan berbeda aliran dapat berinteraksi. Drogul menyajikan ide-ide tersebut pada pertemuan ke sepuluh yang diselenggarakan di Da Nang, Vietnam, eksperimen dalam pelatihan riset interdisipliner. Pada acara tersebut melaksanakan lokakarya tentang modeling, yang diikuti oleh peneliti muda dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan praktisi pembangunan.

Platform IFS
Percobaan lain yang menarik, kali ini fokus pada insentif, yang dilakukan oleh International Foundation for Science (IFS) di Swedia. Mandat IFS adalah untuk mendukung para peneliti muda dari perguruan tinggi di negara-negara berkembang, termasuk mendorong kerja sama dengan peneliti negara maju. Kegiatan tersebut akan memberi anggaran riset dan mengundang para penelti muda yang ingin bergabung pada sebuah platform online di mana mereka dapat berinteraksi, membuat tim dan mengembangkan proposal riset kolaboratif, dalam forum tertutup untuk ide-ide dan kompetensi.  Sebagai bagian dari proses pengembangan proposal riset bersama, tim harus memilih salah satu dari lima organograms (bagan organisasi) yang sesuai untuk mengelola tim kerja mereka. Proses ini memungkinkan perbedaan insentif individu dan institusi untuk kolaborasi yang timbul, ditangani bersama dan mungkin dicarikan solusinya, bahkan sebelum dimulainya riset. Hal ini akan menurunkan risiko dan biaya transaksi untuk riset kolaborasi. Model tersebut menghadapai masalah serius tentang adanya perbedaan struktur insentif bagi peneliti dari negara bagian Utara dan Selatan ketika berkolaborasi dengan satu sama lain. Hal ini juga menyebabkan implikasi potensial untuk menjalankan kolaborasi yang setara, menjaga asa untuk penghargaan hibah riset sebagai tujuan bersama.

Memanfaatkan Media Sosial
Contoh terakhir datang dari riset medis. Platform online gratis MyExperiment.Org memanfaatkan alat media sosial. Melalui aturan yang jelas mengenai konten yang diposting, sifat dan kepemilikannya, memungkinkan peneliti bidang genetika dapat berbagi dengan komunitas global tentang "alur kerja" rekan-rekan mereka - prosedur yang mereka gunakan untuk mencari urutan gen tertentu dalam rantai DNA. Kemudahan pengguna dan fungsi yang jelas dari platform yang cukup untuk membalikkan kecenderungan peneliti guna menjaga privasi toolbox dan eksklusif, dan hanya mengungkapkan metodologi mereka dalam makalah yang diterbitkan. Penyelenggara memperkirakan sekitar 30 persen dari semua alur kerja riset genetika saat ini dibagikan dan mudah diakses pada platform. Manfaat bagi masyarakat ilmiah dan peneliti perorangan sangat besar.

Peran pemain lainnya
Ketiga kasus memiliki suatu kesamaan yaitu: desain yang hati-hati tentang insentif individu, format kolaborasi dan alat membalikkan dugaan beberapa insentif kelembagaan yang menetapkan biaya profesional yang tinggi bagi para peneliti yang bekerja sama. Mereka juga menunjukkan bahwa ada masalah negatif dalam rincian, yaitu dalam desain, manajemen dan moderasi kolaborasi. Memanfaatkan dan menggabungkan hal ini dengan untaian serupa lainnya dari pekerjaan akan memerlukan pekerjaan penyelarasan. Lembaga internasional memiliki peran yang jelas untuk bermain di sini: mereka membutuhkan dukungan eksperimen dalam memproduksi pengetahuan untuk pengembangan, termasuk pada skala lintas negara. Lembaga riset dan lembaga pemberi hibah harus mengeksplorasi penggunaan kriteria terkait dengan dampak sosial dari riset. Hal ini harus diterapkan untuk penilaian track record akademik individu, alokasi sumber daya dan progres karir - untuk menghargai kerja kolaboratif di seluruh disiplin ilmu sebanyak yang mereka lakukan pada pekerjaan disiplin ilmunya, terutama jika didorong oleh minat agar risetnya memiliki dalam dampak sosial. Akhirnya, para peneliti harus siap sedia seperti biasanya untuk mengambil risiko guna mengatasi masalah dampak sosial yang mendesak, dan bekerja di luar zona kenyamanan mereka. Mengingat substansi SDGs yang mendukung format baru untuk riset kolaboratif dalam dekade berikutnya akan menjadi esensi.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates