Social Icons

Pages

Minggu, 10 Januari 2016

Ketahanan pangan tidak dapat menunggu??



Laporan FAO yang dipublikasikan dengan judul “State of Food Insecurity in the World 2015” pada bulan Juni tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dunia yang kelaparan telah menurun menjadi 12,9%.  Hal ini tentu kabar baik, tetapi pada saat yang sama, angka absolut masih mengejutkan yaitu sekitar 795.000.000 orang masih mengalami kelaparan saat ini dan jika tindakan terhadap perubahan iklim tidak tercapai jumlah penduduk yang lapar akan meningkat. Gizi merupakan salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan, sebuah konsep yang memiliki banyak dimensi. Hal ini mencakup ketersediaan pangan, produksi, akses terhadap pangan, pemanfaatan dan yang sangat penting lagi adalah stabilitas. Perubahan iklim dan dampak yang terkait cenderung mempengaruhi semua dimensi ketahanan pangan di berbagai tingkat dan situasinya lebih rumit dan rentan di seluruh dunia.

FAO telah bekerja untuk mendukung beberapa negara guna menghadapi dampak perubahan iklim selama bertahun-tahun. Pekerjaan FAO adalah membantu negara-negara tersebut untuk mencapai ketahanan pangan dalam kondisi ketidakpastian perubahan iklim. Karena sektor pertanian (produksi tanaman dari petani kecil, peternak, kehutanan dan perikanan) yang sangat terkena variabilitas iklim, maka FAO perlu membantu agar negara-negara tersebut tangguh. Ada banyak cara untuk mencapai sistem pangan yang tangguh dan produktif.

Di antara berbagai jalur yang tersedia, FAO mengusulkan Pertanian Cerdas Iklim (CSA- Climate-Smart Agriculture), merupakan suatu pendekatan untuk membantu memandu tindakan-tindakan untuk mengubah dan reorientasi sistem pertanian secara efektif dan berkelanjutan yang mendukung pembangunan dan keamanan pangan dalam kondisi perubahan iklim. Hal ini didasarkan pada tiga pilar yaitu (1) Meningkatkan produktivitas dan pendapatan pertumbuhan yang berkelanjutan di bidang pertanian, (2) Dukungan adaptasi di sektor pertanian terhadap perubahan iklim yang juga diharapkan dapat membangun ketahanan pangan dan (3) Mengurangi, jika mungkin, intensitas emisi gas rumah kaca dari sistem produksi pangan.

Bagi mereka yang berpikir bahwa CSA sama dengan pertanian berkelanjutan, tidaklah cukup. Pendekatan CSA dibangun berdasarkan konsep, teknologi dan pengalaman pertanian berkelanjutan. Perbedaannya adalah bahwa CSA fokus pada pengintegrasian dampak perubahan iklim belum pernah terjadi sebelumnya.
Populasi dunia masih terus meningkat, meskipun tingkat pertumbuhan tahunan melambat. Karena ada mulut yang lebih banyak untuk diberi makan serta jumlah dan keanekaragaman dari pola makan penduduk yang berubah. Konsumsi pangan per kapita global diproyeksikan meningkat dari sekitar 2700kcal/hari pada saat ini menjadi lebih dari 3000kca/hari pada tahun 2050. Dunia mengkonsumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi produk hewani. Produksi ikan global telah juga meningkat selama 50 tahun terakhir; dengan sistem akuakultur dapat menyediakan sebagian besar peningkatan produksi perikanan dalam 20 tahun terakhir.

Jumlah lahan yang digunakan per orang secara bertahap mengalami penurunan. Secara global berkurang setengahnya sejak tahun 1960-an sampai sekarang. Meskipun kondisinya seperti itu, pertanian mampu menghasilkan lebih dan lebih, bagaimana hal ini bisa terjadi?. Jawabannya adalah adanya peningkatan dramatis dan stabil dalam hal produktivitas tanaman per hektar hasil yang telah dicapai melalui revolusi hijau. Namun demikian, tetap ada keterbatasan dalam upaya mencapai produksi pangan dunia yaitu tingkat pertumbuhan tahunan, misalnya, produksi dan produktivitas serealia dunia secara tetap mengalami penurunan. Akibatnya meningkatkan harga produk serealia dunia. Banyak praktek budidaya pertanian yang terus menekan sumberdaya alam dan lingkungan. Kita secara perlahan mencapai suatu titik yang tidak dapat mengembalikan. Kita dihadapkan dengan kebutuhan untuk terus tumbuh dengan sedikit sumberdaya dan secara berkelanjutan.

Hal diatas menggambarkan pentingnya pilar kedua dari CSA yaitu mendukung adaptasi di sektor pertanian terhadap perubahan iklim yang juga diharapkan dapat membangun ketahanan pangan. Adaptasi sangat penting untuk menjamin keamanan pangan di masa depan. Ada banyak contoh tentang bagaimana praktek usahatani yang lebih baik dan kebijakan yang lebih baik dapat membantu petani, rimbawan dan nelayan untuk beradaptasi. Agroforestri, diversifikasi tanaman, pertanian konservasi, perbaikan teknik manajemen, layanan ramalan cuaca, dan ketersediaan varietas tanaman yang toleran kadar garam tinggi dan kekeringan, merupakan beberapa cara untuk adaptasi iklim.
Dalam banyak kesempatan, beberapa praktek usahatani memberikan manfaat besar termasuk pengurangan emisi yang membawa kita pada pilar ketiga dari CSA: mengurangi, jika mungkin, intensitas emisi gas rumah kaca dari sistem produksi pangan.

Ada banyak kesempatan untuk mengurangi intensitas emisi dari sistem pertanian, tanpa mengurangi produktivitas. Pada saat itu mungkin dapat meningkatkan produktivitas. Tindakan kunci untuk mencapai peningkatan ini adalah penggunaan sumber daya yang efisiensi dan perbaikan manajemen. Hal ini akan mengakibatkan pengurangan intensitas emisi dengan kombinasi peningkatan produktivitas.
Tetapi dengan promosi yang lebih baik, sistem produksi cerdas iklim tidak terjadi secara otomatis. Petani, rimbawan dan nelayan membutuhkan dukungan!  Hal Ini termasuk pengetahuan tentang sistem produksi alternatif atau diperbaiki dan pilihan manajemen; institusi pendukung lokal atau mekanisme (penyuluhan, koperasi, dll); ketersediaan varietas yang lebih toleran (kebutuhan untuk penelitian dan pengembangan); akses ke sumber daya baik untuk pria dan wanita seperti input, lahan, pembiayaan/investasi; dan lingkungan kebijakan yang memungkinkan.

Untuk membawa perubahan positif, ada kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan. Agar hal ini terjadi, empat prinsip penting yang diperlukan adalah 1) Hidupkan kemauan politik dalam implementasi/kebijakan, investasi, kerangka hukum, 2) Mempertajam fokus kebijakan dan program untuk perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, 3) Meningkatkan penggunaan bukti mendasar  untuk pembuatan kebijakan, dan 4) Melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates