Dunia perlu menutup
kesenjangan 70% antara kalori tanaman yang tersedia pada tahun 2006 dan prediksi
kebutuhan kalori pada tahun 2050. Selama periode yang sama, permintaan daging
dan susu diproyeksikan tumbuh lebih dari 80 persen, dan permintaan untuk kayu komersial
dan pulp cenderung meningkat sekitar persentase yang sama. Namun saat ini
sekitar ¾ luas daratan dunia sudah digunakan untuk budidaya tanaman pangan
untuk memenuhi pangan dan serat yang dibutuhkan penduduk dunia. Sedangkan sisa
ekosistem lahan dunia banyak diperlukan
untuk pelestarian dan dikembalikan fungsinya sebagai penyimpan karbon dan memenghadapi
perubahan iklim, melindungi sumber daya air tawar, dan untuk melestarikan keanekaragaman
hayati di planet ini. Suatu penelitian yang terus berkembang untuk mencari bioenergi
telah memperparah kompetisi lahan. Dalam dekade terakhir, pemerintah telah
mendorong untuk meningkatkan penggunaan bioenergi, penggunaan tanaman untuk
energi, dengan menggunakan tanaman untuk biofuel transportasi dan terus
meningkatkannya dengan memanen tanaman untuk pembangkit listrik. Meskipun
peningkatan pasokan energi telah memberikan satu motivasi, ada keyakinan lain
bahwa penggunaan bioenergi akan membantu memerangi perubahan iklim. Namun, bioenergi yang memerlukan penggunaan lahan
pertanian budidaya bahan baku energi akan melemahkan upaya untuk memerangi
perubahan iklim dan untuk mencapai pangan masa depan berkelanjutan.
Apa implikasinya biofuel berbasis tanaman terhadap
pasokan pangan?
Bioenergi
merupakan tantangan secara
langsung pangan masa
depan berkelanjutan ketika kebijakan
pemerintah menyebabkan pengalihan
tanaman pangan menjadi etanol atau biodiesel untuk
transportasi. Biofuel dari tanaman
pangan saat ini, seperti jagung, minyak
sayur, dan tebu dapat menyediakan
sekitar 2,5% dari bahan bakar transportasi di dunia. Walaupun
kecil proporsi untuk bahan bakar transportasi tahun 2050, tetapi akan memiliki implikasi besar bagi kesenjangan kalori tanaman. Jika biofuel
berbasis tanaman yang
dihapus, maka kesenjangan kalori tanaman tahun 2050 akan menurun dari 70
persen menjadi sekitar 60 persen, merupakan langkah signifikan menuju pangan masa depan yang berkelanjutan.
Beberapa wilayah yang mengkonsumsi
bahan bakar fosil terbesar, seperti Amerika Serikat dan Eropa, telah
menetapkan target biofuel lebih
tinggi setidaknya 10 persen dari jumlah bahan
bakar transportasi pada tahun 2020. Jika target tersebut
mendunia pada tahun 2050,
maka untuk memenuhinya akan memerlukan tanaman dengan kandungan setara energi sekitar 30 persen
dari seluruh energi dari produksi tanaman dunia saat ini. Akibatnya, kesenjangan kalori tanaman akan meningkat
dari 70 persen menjadi sekitar 90 persen, sehingga membuat sulit dicapainya panganmasa depan yang berkelanjutan. Secara
keseluruhan, penghilangan penggunaan biofuel berbasis tanaman dari pada memenuhi target 10% perluasan, kemungkinan ada perbedaan antara 90% senjang kalori tanaman
dan 60% kesenjangan. Sehingga ada
strategi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pangan masa depan berkelanjutan.
Apakah
biofuel selulosa dapat menghindarkan persaingan lahan
Biofuel selulosa
(kadang-kadang disebut sebagai "generasi kedua") dapat menggunakan
sisa tanaman atau limbah lainnya, tetapi kebanyakan produk ini tergantung pada budidaya dan panen tanaman
keras yang cepat tumbuh atau rumput. Setidaknya masih mungkin terjadi beberapa
kompetisi langsung dengan tanaman pangan, karena tanaman keras dan rumput untuk
biofuel dapat tumbuh dan mudah dipanen pada lahan yang relatif datar dan
sumbur, yang merupakan lahan pertanian yang diperuntuknan untuk tanaman pangan.
Menggunakan lahan pertanian untuk menanam tanaman keras dan rumput dibanding tanaman pangan untuk biofuel mungkin tidak
akan mengurangi atau menghilangkan, kompetisi penggunaan lahan pertanian. Tanaman
keras dan rumput mungkin agak sulit untuk memproduksi biofuel per hektar lebih
banyak dibanding biofuel berbasis tanaman pangan. Misalnya, satu hektar jagung
di Amerika Serikat saat ini dapat menghasilkan sekitar 1.600 galon etanol
(sekitar 6.000 liter). Sedangkan perkiraan US Environmental Protection Agency,
untuk menghasilkan etanol selulosa,
rumput atau tanaman keras harus mencapai
hampir dua kali lipat dari hasil selulosa nasional dan 2-4 kali hasil
rumput tahunan yang diperoleh petani di Amerika Serikat pada saat ini. Alternatifnya,
biofuel selulosa mungkin mengandalkan panen hutan yang ada saat ini atau membudidayakan
tanaman keras yang cepat tumbuh atau rumput pada pada padang rumput atau padang
savana dunia. Tetapi memanen tanaman hutan akan mengurangi penyimpanan karbon dan
kemampuan hutan mendukung keanekaragaman hayati. Membakar tanaman hutan untuk
energi akan menyebabkan emisi karbon dioksida bersih selama beberapa dekade
sampai pohon tumbuh kembali. Demikian juga, mengkonversi padang savana
pepohonan untuk bioenergi akan mengorbankan ekosistem untuk penyimpanan karbon dan
berlimpahnya keanekaragaman hayati, sedangkan konversi padang rumput akan
mengorbankan kemampuannya memberi pasokan pakan ternak.
Bagaimana jika produksi bioenergi menggunakan lahan
terdegradasi?
Beberapa peneliti
berpendapat bahwa budidaya tanaman untuk memproduksi bioenergi pada lahan
pertanian terdegradasi akan menghindari kompetisi lahan pertanian subur. Istilah
"lahan terdegradasi" memiliki banyak arti, tetapi tidak peduli
bagaimana didefinisikan, saat ini sulit untuk menemukan lahan yang sedikit bermanfaat
bagi manusia, iklim, atau keanekaragaman hayati, tetapi bisa menghasilkan
tanaman bioenergi berlimpah. Sebagai contoh, pembabatan hutan di Indonesia yang
mengakibatkan lahan bekas hutan menjadi padang alang-alang. Meskipun lahan seperti itu dapat mendukung produksi
bioenergi, akan tetapi perlu biaya sangat besar bagi dunia yang pada saat sama
harus memenuhi tambahan produksi 70% tanaman pangan, usaha ternak dan kayu
komersial pada tahun 2050.Padang alang-alang di Indonesia, hanya memberikan biaya
peluang rendah untuk memenuhi permintaan minyak sawit untuk pangan. Penggunaan padang
alang bukan untuk produksi biofuel, dapat mendorong petani untuk mengkonversi
hutan menjadi lahan perkebunan sawit. Beberapa peneliti menyatakan bahwa lahan
bukaan baru yang ditinggalkan para peladang dapat dimanfaatkan untuk produksi
bioenergi sehingga menghindari persaingan lahan subur. Namun, lahan bukkan baru
jika dibiarkan akan menjadi hutan kembali atau padang rumput yang bermanfaat
untuk menghadapi perubahan iklim. Akibatnya manfaat tersebut akan dikorbankan
jika untuk lahan produksi bioenergi. Dengan menambahkan air irigasi, lahan
terdegradasi atau lahan kering dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biofuel dan
menghindari kompetisi lahan untuk pangan dan penyimpan karbon.
Sumber:
Tim
Searchinger and Ralph Heimlich (2015) http://www.wri.org/publication/avoiding-bioenergy-competition-food-crops-and-land
Tidak ada komentar:
Posting Komentar