Social Icons

Pages

Rabu, 05 Agustus 2015

Menghindarkan Kompetisi Lahan untuk Tanaman Pangan dan Bioenergi (Bag. 1)



Dunia perlu menutup kesenjangan 70% antara kalori tanaman yang tersedia pada tahun 2006 dan prediksi kebutuhan kalori pada tahun 2050. Selama periode yang sama, permintaan daging dan susu diproyeksikan tumbuh lebih dari 80 persen, dan permintaan untuk kayu komersial dan pulp cenderung meningkat sekitar persentase yang sama. Namun saat ini sekitar ¾ luas daratan dunia sudah digunakan untuk budidaya tanaman pangan untuk memenuhi pangan dan serat yang dibutuhkan penduduk dunia. Sedangkan sisa ekosistem  lahan dunia banyak diperlukan untuk pelestarian dan dikembalikan fungsinya sebagai penyimpan karbon dan memenghadapi perubahan iklim, melindungi sumber daya air tawar, dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati di planet ini. Suatu penelitian yang terus berkembang untuk mencari bioenergi telah memperparah kompetisi lahan. Dalam dekade terakhir, pemerintah telah mendorong untuk meningkatkan penggunaan bioenergi, penggunaan tanaman untuk energi, dengan menggunakan tanaman untuk biofuel transportasi dan terus meningkatkannya dengan memanen tanaman untuk pembangkit listrik. Meskipun peningkatan pasokan energi telah memberikan satu motivasi, ada keyakinan lain bahwa penggunaan bioenergi akan membantu memerangi perubahan iklim.  Namun, bioenergi yang memerlukan penggunaan lahan pertanian budidaya bahan baku energi akan melemahkan upaya untuk memerangi perubahan iklim dan untuk mencapai pangan masa depan berkelanjutan.

Apa implikasinya biofuel berbasis tanaman terhadap pasokan pangan?
Bioenergi merupakan tantangan secara langsung  pangan masa depan berkelanjutan ketika kebijakan pemerintah menyebabkan pengalihan tanaman pangan menjadi etanol atau biodiesel untuk transportasi. Biofuel dari tanaman pangan saat ini, seperti jagung, minyak sayur, dan tebu dapat menyediakan sekitar 2,5% dari bahan bakar transportasi di dunia. Walaupun kecil proporsi untuk bahan bakar transportasi tahun 2050, tetapi akan memiliki implikasi besar bagi kesenjangan kalori tanaman. Jika biofuel berbasis tanaman yang dihapus, maka kesenjangan kalori tanaman tahun 2050 akan menurun dari 70 persen menjadi sekitar 60 persen, merupakan langkah signifikan menuju pangan masa depan yang berkelanjutan. Beberapa wilayah yang mengkonsumsi bahan bakar fosil terbesar, seperti Amerika Serikat dan Eropa, telah menetapkan target biofuel lebih tinggi setidaknya 10 persen dari jumlah bahan bakar transportasi pada tahun 2020. Jika target tersebut  mendunia pada tahun 2050, maka untuk memenuhinya akan memerlukan tanaman dengan kandungan setara energi sekitar 30 persen dari seluruh energi dari produksi tanaman dunia saat ini. Akibatnya, kesenjangan kalori tanaman akan meningkat dari 70 persen menjadi sekitar 90 persen, sehingga membuat sulit dicapainya panganmasa depan yang berkelanjutan. Secara keseluruhan, penghilangan penggunaan biofuel berbasis tanaman dari pada memenuhi target 10% perluasan, kemungkinan ada perbedaan antara 90% senjang kalori tanaman dan 60% kesenjangan. Sehingga ada strategi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pangan masa depan berkelanjutan.

Apakah biofuel selulosa dapat menghindarkan persaingan lahan
Biofuel selulosa (kadang-kadang disebut sebagai "generasi kedua") dapat menggunakan sisa tanaman atau limbah lainnya, tetapi kebanyakan produk ini  tergantung pada budidaya dan panen tanaman keras yang cepat tumbuh atau rumput. Setidaknya masih mungkin terjadi beberapa kompetisi langsung dengan tanaman pangan, karena tanaman keras dan rumput untuk biofuel dapat tumbuh dan mudah dipanen pada lahan yang relatif datar dan sumbur, yang merupakan lahan pertanian yang diperuntuknan untuk tanaman pangan. Menggunakan lahan pertanian untuk menanam tanaman keras dan rumput dibanding  tanaman pangan untuk biofuel mungkin tidak akan mengurangi atau menghilangkan, kompetisi penggunaan lahan pertanian. Tanaman keras dan rumput mungkin agak sulit untuk memproduksi biofuel per hektar lebih banyak dibanding biofuel berbasis tanaman pangan. Misalnya, satu hektar jagung di Amerika Serikat saat ini dapat menghasilkan sekitar 1.600 galon etanol (sekitar 6.000 liter). Sedangkan perkiraan US Environmental Protection Agency, untuk menghasilkan etanol selulosa,  rumput atau tanaman keras harus mencapai  hampir dua kali lipat dari hasil selulosa nasional dan 2-4 kali hasil rumput tahunan yang diperoleh petani di Amerika Serikat pada saat ini. Alternatifnya, biofuel selulosa mungkin mengandalkan panen hutan yang ada saat ini atau membudidayakan tanaman keras yang cepat tumbuh atau rumput pada pada padang rumput atau padang savana dunia. Tetapi memanen tanaman hutan akan mengurangi penyimpanan karbon dan kemampuan hutan mendukung keanekaragaman hayati. Membakar tanaman hutan untuk energi akan menyebabkan emisi karbon dioksida bersih selama beberapa dekade sampai pohon tumbuh kembali. Demikian juga, mengkonversi padang savana pepohonan untuk bioenergi akan mengorbankan ekosistem untuk penyimpanan karbon dan berlimpahnya keanekaragaman hayati, sedangkan konversi padang rumput akan mengorbankan kemampuannya memberi pasokan pakan ternak.

Bagaimana jika produksi bioenergi menggunakan lahan terdegradasi?
Beberapa peneliti berpendapat bahwa budidaya tanaman untuk memproduksi bioenergi pada lahan pertanian terdegradasi akan menghindari kompetisi lahan pertanian subur. Istilah "lahan terdegradasi" memiliki banyak arti, tetapi tidak peduli bagaimana didefinisikan, saat ini sulit untuk menemukan lahan yang sedikit bermanfaat bagi manusia, iklim, atau keanekaragaman hayati, tetapi bisa menghasilkan tanaman bioenergi berlimpah. Sebagai contoh, pembabatan hutan di Indonesia yang mengakibatkan lahan bekas hutan menjadi padang alang-alang.  Meskipun lahan seperti itu dapat mendukung produksi bioenergi, akan tetapi perlu biaya sangat besar bagi dunia yang pada saat sama harus memenuhi tambahan produksi 70% tanaman pangan, usaha ternak dan kayu komersial pada tahun 2050.Padang alang-alang di Indonesia, hanya memberikan biaya peluang rendah untuk memenuhi permintaan minyak sawit untuk pangan. Penggunaan padang alang bukan untuk produksi biofuel, dapat mendorong petani untuk mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan sawit. Beberapa peneliti menyatakan bahwa lahan bukaan baru yang ditinggalkan para peladang dapat dimanfaatkan untuk produksi bioenergi sehingga menghindari persaingan lahan subur. Namun, lahan bukkan baru jika dibiarkan akan menjadi hutan kembali atau padang rumput yang bermanfaat untuk menghadapi perubahan iklim. Akibatnya manfaat tersebut akan dikorbankan jika untuk lahan produksi bioenergi. Dengan menambahkan air irigasi, lahan terdegradasi atau lahan kering dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biofuel dan menghindari kompetisi lahan untuk pangan dan penyimpan karbon.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates