Social Icons

Pages

Kamis, 21 April 2016

Setengah populasi dunia akan tergantung pada pangan impor pada tahun 2050



Tomat dari Spanyol, minyak zaitun dari Italia, plum dari Chili, ikan salmon dari Alaska dan kacang hijau dari Kenya - seberapa sering beberapa bahan makanan ini akan berakhir di keranjang Anda? Di Inggris troli belanja masyarakat mengandung proporsi yang signifikan dari makanan impor. Tapi apakah bisa makanan ini tumbuh dan diproduksi di rumah?.  Negara mana yang mampu swasembada pangan? Sebuah peta seri baru menunjukkan negara mana bisa memberi makan seluruh populasi penduduk mereka, dan negara mana yang dibatasi oleh kurangnya tanah atau air. Marianela Fader dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jerman, dan rekan peneliti lainnya, telah menghitung kapasitas tumbuh dari setiap negara di dunia dan membandingkannya dengan kebutuhan pangan, baik untuk saat ini maupun  proyeksi ke depan untuk tahun 2050. Model mereka menggunakan data iklim, jenis tanah dan pola penggunaan lahan untuk masing-masing negara, guna mensimulasikan hasil untuk berbagai jenis tanaman. Menggunakan data populasi penduduk saat ini dan konsumsi makanan dan air di masing-masing negara, mereka mampu menilai seberapa besar proporsi makanan yang bisa dihasilkan oleh negara.

Meskipun saat ini banyak negara memilih untuk mengimpor makanan, model tersebut menunjukkan bahwa ada sangat sedikit yang tidak bisa mempertahankan pola makan yang sama dan tetap swasembada pangan.  Saat ini, sekitar 66 negara tidak mampu menjadi swasembada pangan karena air dan/atau kendala lahan. Hal ini setara dengan 16% dari populasi dunia yang tergantung pada pangan yang diimpor dari negara lain. Negara-negara yang paling tergantung pada impor adalah  Afrika Utara, Timur Tengah dan Amerika Tengah, dengan lebih dari setengah jumlah populasi penduduk tergantung pada pangan impor di banyak lokasi tersebut. Di luar lokasi tersebut banyak negara dapat swasembada pangan jika mereka mau berupaya. Tapi dengan berjalannya jam menuju tahun 2050 dan tekanan penduduk melukiskan gambaran yang sangat berbeda. Petak-petak luas pada peta global menunjukkan warna merah dan oranye, yang menunjukkan agar negara-negara tersebut harus memaksimalkan produksi pangan yaitu dengan meningkatkan produktivitas pertanian dan memperluas lahan pertanian guna menyediakan pangan bagi populasi penduduk mereka. Data menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi penduduk dunia akan bergantung pada pangan impor tahun 2050.

Dengan asumsi bahwa semua negara berpenghasilan rendah mencapai potensi produktivitas penuh pada tahun 2050 sebagai akibat perluasan lahan pertanian, hal ini akan menjadi tantangan sosial dan teknologi yang sangat besar dan dengan demikian asumsi tersebut sangat optimis. Namun kesenjangan swasembada pangan masih akan setara dengan sekitar 55 -123 juta orang dan lebih dari 20 juta orang ada di Nigeria dan Somalia. Hasil kajian Fader ini dipublikasikan dalam Environmental Research Letters (ERL). Tatepai dampak perubahan iklim  tidak termasuk dalam penelitian ini dan masalahnya bahkan bisa lebih parah lagi. Sejumlah negara maju, termasuk Inggris, Belanda dan Jepang, sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan populasi dalam negerinya. Ketergantungan pada pangan impor tampaknya akan menjadi lebih buruk sebagai akibat populasi meningkat. Namun, tidak seperti negara-negara berkembang, negara-negara ini mungkin dapat membeli pangan sebagai jalan keluar dari masalah tersebut. Ketahanan pangan akan menjadi masalah besar selama beberapa dekade mendatang. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas pertanian dapat memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Sementara itu, perubahan dalam pola makan, seperti ketergantungan terhadap pangan musiman dan vegetarian, juga bisa memiliki dampak yang signifikan, meskipun hal ini tidak dieksplorasi dalam penelitian saat ini.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates