Ekonomi di kawasan
Asia-Pasifik tidak dapat mempertahankan pertumbuhan yang dinamis saat ini, kecuali
perihal air ikut dipertimbangkan, karena kawasan ini sedang menghadapi
"krisis" dalam mengamankan dan mengelola sumber daya utama tersebut. Sebuah
laporan yang komprehensif tentang pembangunan air di Asia-Pasifik baru saja
dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) yang menyatakan bahwa saat ini ada
kondisi "global hot spot untuk ketidakamanan air". Sekitar 3,4 miliar
orang tinggal di daerah yang mengalami kelangkaan air di Asia pada tahun 2050,
kata laporan tersebut, yang dikutip datanya dari studi yang dilakukan oleh
Institute yang berbasis di Austria (IIASA = Austria-based
International Institute for Applied Systems Analysis). Beberapa negara
di wilayah ini - Afghanistan, Cina, India, Pakistan dan Singapura -
diproyeksikan memiliki ketersediaan air per kapita terendah pada tahun 2050. Meningkatnya
permintaan dari penggunaaan air, kata presiden ADB Takehiko Nakao, sumber daya air
yang terbatas akan mengalami situasi yang lebih berbahaya.
Saya percaya tantangan paling menakutkan
adalah untuk melipatgandakan produksi pangan tahun 2050 guna memenuhi kebutuhan
pangan bagi populasi yang semakin berkembang dan makmur, sementara itu juga diperlukan
penyediaan air untuk pengguna domestik yang lebih banyak dan untuk memenuhi kebutuhan
industri dan energi," kata Nakao dalam mengawali laporan ADB. Dampak dari
perubahan iklim, meningkatnya variabilitas iklim dan bencana yang berhubungan
dengan air akan berujung pada cakrawala yang lebih menantang daripada yang kita
alami di masa lalu.
Kemana air pergi?
Kawasan Asia-Pasifik tetap menjadi tempat
tinggal bagi 60 persen dari populasi dunia dan setengah dari orang termiskin di
dunia. Air untuk pertanian terus mengkonsumsi 80 persen dari sumber daya
wilayah. Laporan ADB menunjukkan bahwa hal yang mengejutkan adanya sekitar 1,7
miliar orang yang mengalami kurangnya akses terhadap sanitasi dasar dan dengan
populasi diperkirakan dari 5,2 miliar pada tahun 2050 dan hosting 22 kota besar
pada tahun 2030, sumber daya air di wilayah ini akan menjadi tekanan besar. Menekankan
bahwa risiko kesehatan yang berhubungan dengan kualitas air sangat besar, berdasarkan
laporan ADB hampir 80 persen dari air limbah yang dibuang pada sumber air hanya
mendapatkan sedikit atau tidak ada sama pengolahan khusus. Di Indonesia, hanya
14 persen air limbah yang diolah kembali menjadi air bersih; di Filipina 10
persen; India, 9 persen; dan Vietnam, 4 persen.
Selain itu, adanya industrialisasi dan
transformasi ekonomi juga memerlukan lebih banyak kekuatan dan pergeseran ke efisiensi
air yang lebih intensif, sehingga meningkatkan persaingan antara pengguna air antara
industri dan pertanian. Laporan ini memproyeksikan kebutuhan air di kawasan itu
meningkat 55 persen karena meningkatnya kebutuhan air domestik, manufaktur dan
pembangkit listrik termal. Pertanian akan memerlukan banyak air untuk
menghasilkan 60 persen lebih banyak makanan global pada tahun 2050 dan 100
persen lebih banyak di negara-negara berkembang, dengan menggunakan sumber daya
air yang mulai berkurang karena cepat menipisnya
air tanah.
Sebuah
tren positif
Ketidakamanan air berarti tersedianya
fasilitas air minum dan sanitasi hanya cukup untuk tidak lebih dari setengah
dari populasi penduduk dunia, pelayanan air baik yang tidak resmi atau yang mulai
dikembangkan, dan kualitas air yang buruk atau baru mulai ditingkatkan
kualitasnya. Secara keseluruhan, Asia dan negara-negara Pasifik telah menunjukkan
tren positif dalam memperkuat keamanan air sejak tahun 2013. Pada tahun 2013
terdapat 38 dari 49 perekonomian negara mengalami "ketidakamanan air"
dan jumlahnya sudah meningkat menjadi 29 dari 48 negara pada tahun 2016. Negara
maju seperti Australia, Jepang dan Selandia Baru secara konsisten memimpin
dalam melaksanakan program keamanan air. Asia Timur telah menunjukkan kemajuan
positif yang luar biasa sementara Asia Selatan dan Asia Tenggara memiliki
potensi untuk perbaikan, terutama di Myanmar, Pakistan dan Filipina. Menurut
laporan ADB, diperlukan investasi yang signifikan dan kepemimpinan untuk
mendorong banyak kota di Asia dan Pasifik di jalan menuju keamanan air
perkotaan dan menjadi kota yang peka air. Kerangka keamanan air yang digunakan
untuk studi ADB tidak cocok untuk negara dengan pulau kecil, sehingga kondisi
di negara-negara tersebut tidak dibahas dalam laporan.
Prospek
Laporan ADB menyatakan bahwa peningkatan
permintaan tidak dapat dipenuhi hanya dengan mengembangkan sumber daya air yang
baru. Sebaliknya, hanya dapat dipenuhi dari upaya kombinasi antara meningkatkan
produktivitas air (melalui efisiensi penggunaan air di bidang pertanian dan
mengurangi air nonrevenue perkotaan) dengan peningkatan pengelolaan air
(seperti air hujan), penjernihan limbah air, dan desalinasi. Ada juga kebutuhan
untuk memantau sumber daya air tanah dan secara sungguh-sungguh mulai mengelolanya
secara berkelanjutan. Hal ini akan membutuhkan lebih banyak pemikiran luar
sektor air, mengingat bahwa subsidi listrik juga berkontribusi terhadap penggunaan
air tanah berlebihan. Menurut laporan ADB, secara matematis jika melakukan bisnis
yang seperti biasa, bahkan jika secara lengkap dan seragam diterapkan di
seluruh Asia dan Pasifik, tidak akan cukup karena keterbatasan sumber daya air.
Penguatan tata kelola tidak dapat disangkal lagi sebagai persyaratan utama
untuk mengelola sumber daya air yang efektif dan pembangunan berkelanjutan. Ravi
Narayanan, ketua dewan Asia-Pasifik Water Forum, salah satu mitra ADB dalam
laporan yang keluar setiap tiga tahun, menyatakan bahwa pengelolaan air dan
sistem pembuangan limbah kota-kota Asia-Pasifik adalah masalah yang memprihatinkan,
seperti halnya kesehatan sungai dan sumber air, bersamaan dengan perubahan
iklim dan ketidakpastian yang menyertainya. Sementara semua tantangan tersebut
menakutkan, ada cara untuk mengatasinya dan mengembangkan solusi, asalkan ada
kepemimpinan, komitmen nyata dan investasi, kata Narayanan.
Penggunaan air yang dominan
Pada IIASA, yang hasil penelitiannya tentang
kondisi air dunia secara luas dikutip dalam laporan ADB, menganalisa bahwa di
Asia dan negara-negara Pasifik, irigasi telah menjadi penggunaan air yang dominan
dan melebihi 90 persen dari total kebutuhan air di banyak negara, terutama di
India dan Pakistan. Kelangkaan air telah lazim di negara-negara ini karena
meningkatnya permintaan air untuk irigasi pertanian selama beberapa dekade
terakhir,Yoshihide Wada, wakil direktur program air IIASA, mengatakan
SciDev.Net. Pertumbuhan penduduk di masa depan di negara-negara tersebut diharapkan
tidak memperburuk kondisi kelangkaan
air. Menurut Wada, hal ini juga mengkhawatirkan bahwa deplesi air tanah semakin
parah dan kebiasaan penggunaan air saat ini tidak berkelanjutan untuk generasi
mendatang dan tidak berkompromi terhadap produksi pangan masa depan dari lahan pertanian
irigasi.
Xueliang Cai, dosen senior dan spesialis
produktivitas air di departemen sistem air terpadu dan pengelolaan dari
UNESCO-IHE Institute for Water Education, mencatat bahwa Asia memiliki daerah pertanian
irigasi yang lebih besar dan menggunakan lebih banyak air pengairan daripada
benua lain. "Sementara itu pertanian sangat penting untuk pekerjaan,
pertumbuhan ekonomi, keamanan pangan dan air di Asia, efisiensi penggunaan air pertanian
(sering dinyatakan sebagai produktivitas air tanaman) umumnya rendah dan sangat
bervariasi di seluruh negara, dan bahkan petak-petak pertanian," Cai
mengatakan kepada SciDev.Net. Cai mengatakan bahwa salah satu masalah yang
paling umum adalah, kecuali total konsumsi penggunaan air (jumlah air yang
dikonsumsi atau tercemar dan tidak lagi tersedia untuk pengguna lain)
benar-benar dipahami dan dikelola dengan baik, adalah banyaknya investasi yang ditanam
oleh negara untuk membangun infrastruktur, tanaman, teknologi dan riset, akan
terus terlihat sedikit kemajuan dalam mengatasi tantangan nyata, dan untuk
lebih baik dalam mempersiapkan terhadap peningkatan permintaan kompetitif terhadap
air.
intervensi
kebijakan
Ditanyakan kebijakan pemerintah seperti apa yang
dapat mengadopsi untuk meningkatkan pengelolaan air, Cai memberi catatan bahwa
air memiliki prioritas yang tinggi pada agenda kebanyakan negara Asia. Namun
dengan adanya kebijakan yang ambisius,
mereka "sering tidak disertai dengan komitmen yang kurang kuat dan
implementasi yang tidak tepat." Pemerintah perlu mengubah strategi mereka
dari orientasi tanggap darurat menjadi perencanaan yang benar untuk masa depan.
Dan pengelolaan air pertanian, terutama irigasi, merupakan potensi besar yang
hemat biaya untuk memulainya. Wada mengatakan intervensi kebijakan yang berbeda
mungkin berlaku untuk situasi yang berbeda. Misalnya, di negara-negara dengan
kebutuhan air irigasi besar, meningkatkan efisiensi irigasi memiliki manfaat
besar untuk beradaptasi dengan kelangkaan air di masa mendatang. Mengubah dari air
banjir atau irigasi biasa menjadi irigasi tetes atau sprinkler membutuhkan
investasi ekonomi yang besar dan modernisasi irigasi tapi hal itu mungkin bisa
dilakukan jika pemerintah memprioritaskan kebijakan mereka terhadap pengelolaan
air berkelanjutan.
Untuk negara-negara Asia Tenggara tertentu,
Wada mengatakan, penting untuk mencapai pengelolaan air lintas batas
berkelanjutan pada Sungai Mekong yang merupakan sumber dominan pasokan air bagi
banyak negara di sepanjang sungai tersebut. Ada juga teknologi baru seperti
desalinasi, kultivar baru untuk tanaman, namun sebagian besar masih bergantung
pada kemajuan perkembangan teknologi baru dan mungkin masih terlalu mahal untuk
negara-negara berkembang. Selain itu, laporan ADB mengatakan ada bukti yang
menunjukkan bahwa belum tentu kekayaan bangsa yang menentukan keamanan air.
Malaysia, Singapura, Korea Selatan dan Thailand mampu membuat kemajuan besar
dalam air minum dan sanitasi saat kondisi negara mereka belum sebagai negara
yang kaya. Laporan ADB menyatakan bahwa investasi terkait air dapat
meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sementara pertumbuhan
ekonomi akan menyediakan sumber daya untuk berinvestasi dan infrastruktur air yang
padat modal.
Sumber:
http://www.scidev.net/asia-pacific/water/feature/asia-pacific-tagged-as-hot-spot-for-water-insecurity.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar