Pilihan meningkatkan produksi pangan tanpa perluasan
areal pertanian
Pertanian
cerdas. Terbatasnya ketersediaan air dan penggunaan pupuk anorganik yang
berlebihan di berbagai wilayah telah membatasi kapasitas untuk meningkatkan
hasil dengan cara menambah input. Strategi ini dalam kasus tertentu akan gagal
untuk memenuhi kriteria keberlanjutan. Untuk itu pertanian cerdas dapat
membantu memperlancar peningkatan hasil tanaman. Pada dua dekade terakhir,
perbaikan penggunaan teknologi pertanian dalam pengertian yang luas dapat
menjaga tingginya produksi tanaman meskipun dengan sedikit input pertanian.
Secara umum, meningkatnya penggunaan lahan, air, bahan kimia dan input lainnya
dapat memberikan kontribusi 70% dari pertumbuhan tahunan output pertanian dari
tahun 1970 s/d 1980, tetapi kurang dari 30% pada tahun 1990 s/d 2000 an. Saat
ini, meskipun dengan perbaikan tersebut, perluasan lahan pertanian terus
berlangsung, sehingga kebutuhan untuk pertanian cerdas semakin bertambah besar.
Peluang utama untuk memperbaiki manajemen lahan meliputi seleksi yang cermat
terhadap benih varietas unggul yang beradaptasi dengan kondisi lokal, penggunaan
pupuk secara bijak, perhatian yang lebih penggunaan unsur mikro, dan perbaikan
pranata mangsa untuk menentukan waktu tanam.
Pemuliaan
benih unggul. Perbaikan pemuliaan menjadi faktor penting dan
fundamental untuk kemajuan pertanian. Rekayasa genetik berperan penting,
khususnya adanya perbaikan teknik yang dapat memasukkan gen dalam lokasi
tertentu, menurunkan jumlah uji coba untuk menghasilkan tanaman dengan sifat yang diperbaiki (seperti ketahanan
terhadap hama atau kekeringan). Singkatnya, rekayasa genetik dapat membantu
dengan cara memungkinkan respon lebih cepat terhadap hama baru. Perbaikan
mendasar pada tanaman hasil rekayasa genetik seperti perbaikan menyerap hara
dan mengurangi kehilangan air, merupakan hal yang belum pasti dan perlu waktu beberapa
dekade untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tetapi kuatnya peluang pemuliaan
rekayasa genetik akan terus bergantung
pada pemuliaan konvensional, sebab dapat dimanfaatkannya metode biologi modern.
Metode ini membuat lebih mudah dan cepat untuk mengidentifikasi dan menyeleksi
kombinasi gen yang dapat memberikan hasil/produktivitas tinggi dan mendukung
meningkatnya anggaran pemuliaan konvensional.
Tidak
membiarkan petani tertinggal. Pertumbuhan hasil tanaman juga tergantung kepada
“tidak membiarkan petani tertinggal” dengan cara menutup senjang antara apa
yang petani capai saat ini dengan apa yang mungkin dicapai sesuai potensinya.
Senjang hasil global menjadi pertanyaan besar, tetapi studi global mengalami
keterbatasan metodologi. Mempelajari senjang hasil menggunakan model tanaman
lokal terferifikasi merupakan suatu prioritas untuk mengidentifikasi bukan
hanya senjang yang terbesar terjadi tetapi juga penyebab dari senjang tersebut
sehingga dapat teratasi kesejanjangannya.
Tanam lebih
sering pada lahan yang sama. Data FAO mngidentifikasi bahwa lebih dari 400 juta
hektar lahan pertanian tidak ditanami setiap tahun, diperkirakan sejumlah besar
lahan tersebut diberokan. Disisi lain, para petani hanya menanam sekitar 150
juta hektar dengan dua kali tanam atau lebih setiap tahunnya. Menanam dan
memanen lebih sering pada lahan pertanian yang ada, apakah untuk mengurangi
lahan bero atau meningkatkan intensitas tanam, secara teori dapat meningkatkan
produksi pangan tanpa membutuhkan lahan pertanian baru. Proyeksi FAO bahwa
peningkatan intensitas tanam akan menghilangkan kebutuhan tambahan lahan
pertanian baru seluas 62 juta hektar tahun 2050 nanti. Sayangnya, review tim
peneliti menunjukkan bahwa kepraktisan tanam berganda sedikit dipahami. Sementara itu, sejumlah lahan pertanian yang bero sebagai akibat rotasi
jangka panjang atau mungkin telah ditinggalkan. Lahan ini umumnya menghutan
kembali atau menjadi padang rumput yang bermanfaat untuk menyimpan karbon dan menyediakan
jasa lingkungan lainnya. Menanami lahan
pertanian lebih
sering akan mengorbankan manfaat tersebut. Intensitas tanam yang lebih besar merupakan pilihan yang menjanjikan tetapi memerlukan analisis
potensi tanam berganda dan lahan
bero.
Tingkatkan hasil di Afrika melalui manajemen lahan dan air. Meskipun saat ini penduduk Sub Sahara Afrika hanya
mengkonsumsi 9% dari jumlah kalori dunia, namun tampak ada pertumbuhan
permintaan kalori lebih dari 37% dari tambahan jumlah kalori pada tahun 2050.
Penduduk wilayah negara ini juga memiliki tingkat kelaparan tinggi, mengimpor
25% kebutuhan pangan (bentuk biji), dan memiliki produktivitas tanaman pokok
terendah di dunia. Upaya meningkatkan produktivitas menjadi faktor utama untuk
menurunkan kelaparan dan menghindari deforestasi skala besar. Degradasi tanah,
khususnya hilangnya karbon tanah, merupakan tantangan bagi produksi pertanian
di Sub Sahara Afrika, dan 285 juta orang tinggal di wilayah kering dimana
degradasi tanah berdampak lebih parah. Saat ini di Negeria, petani membangun
kembali kesuburan lahan dan dapat meningkatkan hasil pada 5 juta hektar lahan
dengan memanfaatkan pohon yang dapat memfiksasi nitrogen alami dan tanaman asli
lainnya. Sub Sahara Afrika memiliki lebih dari 300 juta hektar lahan
pertanian kering, sehingga agroforestry memiliki potensi
lebih besar untuk meningkatkan hasil panen bila dikombinasikan dengan air dan
microdosing individu tanaman serta tambahan sejumlah kecil pupuk. Diperkirakan, perluasan skala luas praktek ini dapat memberikan tambahan 615
kkal per orang per hari pada penduduk lahan kering tersebut.
Perluas tanaman ke lahan terdegradasi rendah karbon. Jika tanaman harus diperluas, dapat dilakukan dengan
biaya lingkungan rendah ke lahan lahan non pertanian yang memiliki
keanekaragaman hayati yang rendah, menyimpan sedkit karbon, dan mungkin tidak
untuk sebagai penyimpan karbon pada masa yang akan datang. Jutaan hektar lahan
tersebut ada di Indonesia dan Malaysia, di mana alang-alang telah tumbuh di lahan bekas hutan dan menghambat penghijauan. Analisis para peneliti menunjukkan bahwa lebih dari 14 juta hektar lahan terdegradasi rendah karbon di wilayah Kalimantan, Indonesia, mungkin cocok untuk lahan produksi kelapa sawit produksi
sampai tahun
2020. Secara umum, banyak lahan
yang dipertimbangkan oleh berbagai analisis sebagai lahan potensial tetapi
tidak digunakan, sesungguhnya tidak betul-betul dikualfikasikan sebagai
lingkungan yang rendah biaya. Padan g rumput menghasilkan rumput pakan ternak
dan padang sabana serta lahan dengan pohon perdu merupakan penyimpan karbon yang
tinggi serta memiliki nilai keanekaragaman hayati. Sedangkan lahan pertanian
yang ditinggalkan akan menghutan kembali dan berperan penting menurunkan dampak
perubahan iklim.
Intensifkan produktivitas rumput pakan. Diantara padang rumput yang telah dikonversi dari hutan
alam dan padang sabana, ada peluang besar untuk mengintensifkan produksi susu
dan daging. Teknik standart meliputi penambahan pupuk, menanam tanaman
kacang-kacangan dan menggiring ternak sapi ke areal padang rumput skala kecil
dan merotasinya secara cepat ke lokasi lainnya. Sistem yang lebih maju adalah
mengkombinasikan rumput dengan tumbuhan perdu yang mengfiksasi nitrogen dan
berbagai lapisan pohon. Upaya intensifikasi padang rumput memerlukan perhatian
teknis dan intensif yang lebih besar dibanding kondisi saat ini, sebab
alternatif ini menyiratkan deforestasi.
Hindari atau mengelola peladangan berpindah. Peladangan berpindah dari lokasi ke lokasi lain dalam
satu wilayah menyebabkan deforestasi jutaan hektar yang melebih perluasan lahan
pertanian. Kehilangan penyimpan karbon dan jasa ekosistem lainnya karena deforestasi
baru umumnya melebihi keuntungan dari penghijauan
di tempat
lain. Hal ini akan menjadi penting untuk
menghindari adanya pergeseran lahan pertanian (peladangan berpindah) dan untuk lebih cepat mengembalikan tumbuhnya
vegetasi kembali pada lahan yang ditinggalkan ketika pergeseran lahan ini terjadi
lagi.
Meningkatkan produksi perikanan. Karena penangkapan ikan laut telah menurun, perikanan
telah berkembang pesat untuk memproduksi setengah dari jumlah yang dikonsumsi
penduduk dunia. Secara umum, budidaya ikan sangat efisien dalam mengkonversi
pakan ke makanan seperti ayam, membuat ikan sebagai sumber protein hewani yang
ramah lingkungan jika di produksi secara berkelanjutan. Pertumbuhan perikanan
yang ceta awalnya berdampak negatif terhadap lingkungan, namun dampak ini telah
berkurang, misalnya memperlambat konversi hutan bakau menjadi tambak udang dan mengurangi
ketergantungan terhadap ikan sebagai pakan. Untuk mempertahankan peran ikan
pada menu makanan, produksi ikan harus ditingkatkan dua kali lipat dari saat
ini pada tahun 2050. Bahkan dengan kemajuan besar dalam efisiensi pakan, industri masih
menghadapi pasokan statis untuk produk tepung ikan dan minyak
ikan. Hal ini dapat membatasi pertumbuhan di masa depan kecuali ada
kemajuan
yang dibuat dalam produksi atau pemuliaan tanaman alga untuk memproduksi minyak
tersebut. Tambak juga mencakup
wilayah yang signifikan dan lahan yang cocok untuk perluasan tambak sangat terbatas. Pertumbuhan
produksi masa depan akan membutuhkan peningkatan ikan per hektar tambak, yang
pada gilirannya memerlukan penggunaan energi lebih untuk mensirkulasi
air. Intensifikasi
tersebut memiliki potensi yang dapat menyebabkan dampak
lingkungan dan sosial yang merugikan. Meminimalkan dampak
tersebut akan menjadi tantangan utama.
Sumber:
Tim
Searchinger, Craig Hanson,
Janet Ranganathan, Brian Lipinski, Richard Waite, Robert Winterbottom, Ayesha Dinshaw and Ralph
Heimlich ( 2013) - http://www.wri.org/publication/creating-sustainable-food-future-interim-findings
Tidak ada komentar:
Posting Komentar