Social Icons

Pages

Jumat, 24 Juli 2015

Membuat Pangan Masa Depan Berkelanjutan (Bagian 3)



Pilihan meningkatkan produksi pangan tanpa perluasan areal pertanian

Pertanian cerdas. Terbatasnya ketersediaan air dan penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan di berbagai wilayah telah membatasi kapasitas untuk meningkatkan hasil dengan cara menambah input. Strategi ini dalam kasus tertentu akan gagal untuk memenuhi kriteria keberlanjutan. Untuk itu pertanian cerdas dapat membantu memperlancar peningkatan hasil tanaman. Pada dua dekade terakhir, perbaikan penggunaan teknologi pertanian dalam pengertian yang luas dapat menjaga tingginya produksi tanaman meskipun dengan sedikit input pertanian. Secara umum, meningkatnya penggunaan lahan, air, bahan kimia dan input lainnya dapat memberikan kontribusi 70% dari pertumbuhan tahunan output pertanian dari tahun 1970 s/d 1980, tetapi kurang dari 30% pada tahun 1990 s/d 2000 an. Saat ini, meskipun dengan perbaikan tersebut, perluasan lahan pertanian terus berlangsung, sehingga kebutuhan untuk pertanian cerdas semakin bertambah besar. Peluang utama untuk memperbaiki manajemen lahan meliputi seleksi yang cermat terhadap benih varietas unggul yang beradaptasi dengan kondisi lokal, penggunaan pupuk secara bijak, perhatian yang lebih penggunaan unsur mikro, dan perbaikan pranata mangsa untuk menentukan waktu tanam.

Pemuliaan benih unggul. Perbaikan pemuliaan menjadi faktor penting dan fundamental untuk kemajuan pertanian. Rekayasa genetik berperan penting, khususnya adanya perbaikan teknik yang dapat memasukkan gen dalam lokasi tertentu, menurunkan jumlah uji coba untuk menghasilkan tanaman dengan  sifat yang diperbaiki (seperti ketahanan terhadap hama atau kekeringan). Singkatnya, rekayasa genetik dapat membantu dengan cara memungkinkan respon lebih cepat terhadap hama baru. Perbaikan mendasar pada tanaman hasil rekayasa genetik seperti perbaikan menyerap hara dan mengurangi kehilangan air, merupakan hal yang belum pasti dan perlu waktu beberapa dekade untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tetapi kuatnya peluang pemuliaan rekayasa genetik akan terus  bergantung pada pemuliaan konvensional, sebab dapat dimanfaatkannya metode biologi modern. Metode ini membuat lebih mudah dan cepat untuk mengidentifikasi dan menyeleksi kombinasi gen yang dapat memberikan hasil/produktivitas tinggi dan mendukung meningkatnya anggaran pemuliaan konvensional.

Tidak membiarkan petani tertinggal. Pertumbuhan hasil tanaman juga tergantung kepada “tidak membiarkan petani tertinggal” dengan cara menutup senjang antara apa yang petani capai saat ini dengan apa yang mungkin dicapai sesuai potensinya. Senjang hasil global menjadi pertanyaan besar, tetapi studi global mengalami keterbatasan metodologi. Mempelajari senjang hasil menggunakan model tanaman lokal terferifikasi merupakan suatu prioritas untuk mengidentifikasi bukan hanya senjang yang terbesar terjadi tetapi juga penyebab dari senjang tersebut sehingga dapat teratasi kesejanjangannya.

Tanam lebih sering pada lahan yang sama. Data FAO mngidentifikasi bahwa lebih dari 400 juta hektar lahan pertanian tidak ditanami setiap tahun, diperkirakan sejumlah besar lahan tersebut diberokan. Disisi lain, para petani hanya menanam sekitar 150 juta hektar dengan dua kali tanam atau lebih setiap tahunnya. Menanam dan memanen lebih sering pada lahan pertanian yang ada, apakah untuk mengurangi lahan bero atau meningkatkan intensitas tanam, secara teori dapat meningkatkan produksi pangan tanpa membutuhkan lahan pertanian baru. Proyeksi FAO bahwa peningkatan intensitas tanam akan menghilangkan kebutuhan tambahan lahan pertanian baru seluas 62 juta hektar tahun 2050 nanti. Sayangnya, review tim peneliti menunjukkan bahwa kepraktisan tanam berganda sedikit dipahami. Sementara itu, sejumlah lahan pertanian yang bero sebagai akibat rotasi jangka panjang atau mungkin telah ditinggalkan. Lahan ini umumnya menghutan kembali atau menjadi padang rumput yang bermanfaat untuk menyimpan karbon dan menyediakan jasa lingkungan lainnya. Menanami lahan pertanian lebih sering akan mengorbankan manfaat tersebut. Intensitas tanam yang lebih besar merupakan pilihan yang menjanjikan tetapi memerlukan analisis potensi tanam berganda dan lahan bero.

Tingkatkan hasil di Afrika melalui manajemen lahan dan air. Meskipun saat ini penduduk Sub Sahara Afrika hanya mengkonsumsi 9% dari jumlah kalori dunia, namun tampak ada pertumbuhan permintaan kalori lebih dari 37% dari tambahan jumlah kalori pada tahun 2050. Penduduk wilayah negara ini juga memiliki tingkat kelaparan tinggi, mengimpor 25% kebutuhan pangan (bentuk biji), dan memiliki produktivitas tanaman pokok terendah di dunia. Upaya meningkatkan produktivitas menjadi faktor utama untuk menurunkan kelaparan dan menghindari deforestasi skala besar. Degradasi tanah, khususnya hilangnya karbon tanah, merupakan tantangan bagi produksi pertanian di Sub Sahara Afrika, dan 285 juta orang tinggal di wilayah kering dimana degradasi tanah berdampak lebih parah. Saat ini di Negeria, petani membangun kembali kesuburan lahan dan dapat meningkatkan hasil pada 5 juta hektar lahan dengan memanfaatkan pohon yang dapat memfiksasi nitrogen alami dan tanaman asli lainnya. Sub Sahara Afrika memiliki lebih dari 300 juta hektar lahan pertanian kering, sehingga agroforestry memiliki potensi lebih besar untuk meningkatkan hasil panen bila dikombinasikan dengan air dan microdosing individu tanaman serta tambahan sejumlah kecil pupuk. Diperkirakan, perluasan skala luas praktek ini dapat memberikan tambahan 615 kkal per orang per hari pada penduduk lahan kering tersebut.

Perluas tanaman ke lahan terdegradasi rendah karbon. Jika tanaman harus diperluas, dapat dilakukan dengan biaya lingkungan rendah ke lahan lahan non pertanian yang memiliki keanekaragaman hayati yang rendah, menyimpan sedkit karbon, dan mungkin tidak untuk sebagai penyimpan karbon pada masa yang akan datang. Jutaan hektar lahan tersebut ada di Indonesia dan Malaysia, di mana alang-alang telah tumbuh di lahan bekas hutan dan menghambat penghijauan. Analisis para peneliti menunjukkan bahwa lebih dari 14 juta hektar lahan terdegradasi rendah karbon di wilayah Kalimantan, Indonesia, mungkin cocok untuk lahan produksi kelapa sawit produksi sampai tahun 2020. Secara umum, banyak lahan yang dipertimbangkan oleh berbagai analisis sebagai lahan potensial tetapi tidak digunakan, sesungguhnya tidak betul-betul dikualfikasikan sebagai lingkungan yang rendah biaya. Padan g rumput menghasilkan rumput pakan ternak dan padang sabana serta lahan dengan pohon perdu merupakan penyimpan karbon yang tinggi serta memiliki nilai keanekaragaman hayati. Sedangkan lahan pertanian yang ditinggalkan akan menghutan kembali dan berperan penting menurunkan dampak perubahan iklim.

Intensifkan produktivitas rumput pakan. Diantara padang rumput yang telah dikonversi dari hutan alam dan padang sabana, ada peluang besar untuk mengintensifkan produksi susu dan daging. Teknik standart meliputi penambahan pupuk, menanam tanaman kacang-kacangan dan menggiring ternak sapi ke areal padang rumput skala kecil dan merotasinya secara cepat ke lokasi lainnya. Sistem yang lebih maju adalah mengkombinasikan rumput dengan tumbuhan perdu yang mengfiksasi nitrogen dan berbagai lapisan pohon. Upaya intensifikasi padang rumput memerlukan perhatian teknis dan intensif yang lebih besar dibanding kondisi saat ini, sebab alternatif ini menyiratkan deforestasi.

Hindari atau mengelola peladangan berpindah. Peladangan berpindah dari lokasi ke lokasi lain dalam satu wilayah menyebabkan deforestasi jutaan hektar yang melebih perluasan lahan pertanian. Kehilangan penyimpan karbon dan jasa ekosistem lainnya karena deforestasi baru umumnya melebihi keuntungan dari penghijauan di tempat lain. Hal ini akan menjadi penting untuk menghindari adanya pergeseran lahan pertanian (peladangan berpindah) dan untuk lebih cepat mengembalikan tumbuhnya vegetasi kembali pada lahan yang ditinggalkan ketika pergeseran lahan ini terjadi lagi.

Meningkatkan produksi perikanan. Karena penangkapan ikan laut telah menurun, perikanan telah berkembang pesat untuk memproduksi setengah dari jumlah yang dikonsumsi penduduk dunia. Secara umum, budidaya ikan sangat efisien dalam mengkonversi pakan ke makanan seperti ayam, membuat ikan sebagai sumber protein hewani yang ramah lingkungan jika di produksi secara berkelanjutan. Pertumbuhan perikanan yang ceta awalnya berdampak negatif terhadap lingkungan, namun dampak ini telah berkurang, misalnya memperlambat konversi hutan bakau  menjadi tambak udang dan mengurangi ketergantungan terhadap ikan sebagai pakan. Untuk mempertahankan peran ikan pada menu makanan, produksi ikan harus ditingkatkan dua kali lipat dari saat ini pada tahun 2050. Bahkan dengan kemajuan besar dalam efisiensi pakan, industri masih menghadapi pasokan statis untuk produk tepung ikan dan minyak ikan. Hal ini dapat membatasi pertumbuhan di masa depan kecuali ada kemajuan yang dibuat dalam produksi atau pemuliaan tanaman alga untuk memproduksi minyak tersebut. Tambak juga mencakup wilayah yang signifikan dan lahan yang cocok untuk perluasan tambak sangat terbatas. Pertumbuhan produksi masa depan akan membutuhkan peningkatan ikan per hektar tambak, yang pada gilirannya memerlukan penggunaan energi lebih untuk mensirkulasi air. Intensifikasi tersebut memiliki potensi yang dapat menyebabkan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan. Meminimalkan dampak tersebut akan menjadi tantangan utama.

Sumber:
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates