Makida Mohammed adalah seorang petani dekat wilayah
Oromia di Etiopia, di mana biji-bijian seperti gandum, barley dan tef (jenis
serealia sumber pangan di Etiopia) mendominasi pemandangan lahan pertanian.
Gandum merupakan tanaman komersial utama Muhammad. Di Etiopia, produksi gandum
oleh petani kecil seperti Mohammed mencapai lebih dari 70 persen dari total produksi
gandum dalam negeri. Pendapatan Mohammed berasal dari menjual gandum untuk
membeli pangan, pakaian dan menyekolahkan kelima anaknya. Saya bertemu Mohammed
melalui proyek bersama Cornell Alliance
for Science, sebuah organisasi yang berbasis di Cornell University di
Amerika Serikat yang bertujuan untuk meningkatkan akses ke inovasi ilmiah melalui
komunikasi yang lebih baik. Aliansi ini berkerjasama dengan SciDev.Net menyelenggarakan debat
online. Perdebatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi mengapa petani di seluruh
dunia cenderung lambat untuk mengadopsi inovasi pertanian. Sedangkan debat offline,
diadakan di World Conference
of Science Journalists di Korea Selatan, yang bertujuan mengeksplorasi
peran jurnalis dalam menyebarkan informasi tentang inovasi.
Jumat, 21 Oktober 2016
Selasa, 11 Oktober 2016
Mengapa pembangunan membutuhkan ilmu sosial?
Permasalahan Afrika hanya dapat
diselesaikan dengan dukungan riset sosial dengan relevansi lokal, kata David
Bennett. SciDev.Net dan sumber media lain serta para komentator memberikan
cakupan yang sangat baik terhadap berbagai isu pembangunan - tetapi yang
menarik adalah bagaimana mereka hanya memberikan sedikit perhatian kepada
ilmu-ilmu sosial. Sebuah editorial baru-baru ini, misalnya, mengangkat
pentingnya ilmu alam saat menyusun argumen untuk memfokuskan bantuan pada
pendanaan ilmu pengetahuan berdasarkan Pembiayaan PBB untuk konferensi
Pembangunan di Ethiopia. Tahun lalu
SciDev.Net, dalam kemitraannya dengan UNESCO) menerbitkan sebuah buku tentang 11
sejarah suksesnya ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di Afrika. Namun
ilmu-ilmu sosial dan politik memiliki kelebihan untuk memberikan wawasan
mendalam untuk memajukan pembangunan. Dan pada kenyataannya, pembagian antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial hanya muncul pada pertengahan abad ke-19.
Rabu, 05 Oktober 2016
Kenaikan anggaran ilmu pengetahuan meningkatkan dampak jurnal
Sebuah riset menyatakan
bahwa negara-negara berkembang dapat mengambil jalan pintas untuk meningkatkan
dampak dari penelitian mereka dengan meningkatkan anggaran sains nasional. Sebuah
model yang dikembangkan oleh tim peneliti, yang telah dipublikasikan dalam jurnal
ekologi, menunjukkan bahwa jumlah anggaran yang dihabiskan untuk riset di
negara-negara berkembang secara langsung berkorelasi dengan jumlah publikasi
dari negara-negara ini dalam jurnal terbaik. Tim peneliti menyatakan bahwa di
negara-negara kaya, hasil riset di beberapa jurnal sangat berkorelasi dengan
output ekonomi yang diukur dengan PDB (produk domestik bruto). Shalene Jha, seorang
ahli biologi yang terlibat dalam riset tersebut mengatakan bahwa hal ini dapat
memberikan keunggulan negara-negara miskin atas pesaing mereka yang lebih kaya,
seperti halnya meningkatkan pengeluaran riset yang relatif lebih mudah,
sementara itu merangsang pertumbuhan PDB sangat kompleks dan lambat. Ideologi utama di antara pembuat kebijakan didasarkan pada
PDB, sehingga untuk mengatakan bahwa investasi dalam riset adalah kuncinya merupakan
hal sangat positif.
Hasi riset yang diterbitkan di Bioscience,
menganalisis keluaran lebih dari 130 jurnal ekologi terbaik untuk mengetahui
kewarganegaraan dari peneliti yang mempublikasikan dalam jurnal ini atau duduk
di dewan redaksi mereka. Peneliti negara berkembang menulis hanya tiga persen
dari jumlah makalah dalam jurnal dan hanya dua persen yang membuat papan review
akademik, hal ini menunjukkan bahwa peneliti negara-negara maju terus
mendominasi bidang risetnya. Apa yang menantang dari kebijaksanaan konvensional
dalam riset ini adalah pentingnya anggaran riset untuk meningkatkan output
ilmiah di negara berkembang. Menurut studi tersebut, bisa jadi karena
negara-negara berpenghasilan rendah memiliki sistem ilmu yang kurang
berkembang, sehingga mereka jauh lebih mudah beradaptasi dan dapat memilih
untuk bidang yang dananya tersedia lebih mudah daripada negara-negara kaya. Sebagai
negara berkembang yang berada di garis depan menghadapi beberapa tantangan
ekologi terbesar di dunia, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan dan
kehilangan biodiversitas. Para peneliti berharap studi mereka dapat diterjemahkan
ke banyak dana untuk kegiatan riset ekologi dan konservasi serta lebih banyak publikasi.
Menurut Jha,
meskipun makalah riset fokus pada ekologi, peningkatan investasi riset untuk
setiap disiplin ilmu harus memberikan dorongan peningkatan publikasi yang sama. Tapi Milena
Holmgren, ahli ekologi dari Wageningen University di Belanda, percaya
bahwa penyajian investasi sebagai obat mujarab riset yang dapat menyederhanakan
masalah. Pengalamannya di seluruh Amerika Latin menunjukkan bahwa beberapa
negara kurang fokus pada publikasi. Akibatnya, pemula ilmuwan pemulu/yunior cenderung
kurang menghargai kegiatan tersebut. Jha dan
rekan-rekannya mengakui bahwa investasi saja tidak cukup untuk meningkatkan jumlah
publikasi. Sebaliknya mereka mengusulkan, pimpinan riset di negara Barat dapat berbuat
lebih banyak untuk menjadikan referensi dan melibatkan penulis dari
negara-negara berkembang dalam pekerjaan mereka, atau berbagi hasilnya melalui
akses terbuka dan jurnal bahasa non-Inggris. Peningkatan
jumlah mahasiswa internasional dan melibatkan mereka dalam kolaborasi jangka
panjang juga akan membantu baik negara maju maupun negara-negara berkembang untuk
membangun lanskap riset yang lebih setara.
Sumber:
References
George
Livingston and others Perspectives
on the global disparity in ecological science (BioScience,
13 January 2016)
Langganan:
Postingan (Atom)