Ada narasi penting perihal
sistem pangan dunia yang menjadi topik diskusi di ruang kuliah, ruang rapat,
dan kantor pemerintah di seluruh dunia. Hal ini logis dan terjadi dimana-mana.
Masalahnya, isi cerita tersebut berdasarkan asumsi yang kurang tepat. Anda
mungkin juga pernah membaca atau mendengar cerita tersebut, yang intinya berisi
seperti ini: “Populasi penduduk dunia akan tumbuh hingga 9 milyar orang pada
pertengahan abad ini dan menuntut permintaan pasokan pangan yang besar di planet
bumi ini. Untuk memenuhi permintaan
yang terus berkembang ini, kita perlu memproduksi pangan hampir dua kali lebih
banyak pada tahun 2050 dibanding produksi pangan saat ini. Ini berarti kita
harus menggunakan tanaman rekayasa genetika dan teknologi canggih lainnya untuk
menghasilkan tambahan produksi pangan tersebut”. Biar fair, sebetulnya ada kebenaran
dari pernyataan tersebut, akan tetapi pernyataan tersebut tidak lengkap atau kurang
sempurna. Selain itu, pernyataan tersebut
memberikan visi yang menyimpang dari sistem pangan dunia, akibatnya ada potensi
buruk dalam pemilihan kebijakan dan investasi. Untuk membuat kebijakan yang
tepat, kita perlu menelisik cerita tersebut pada relnya.
Mengubah
pola makan (bukan pertumbuhan penduduk)
merupakan pendorong utama permintaan pangan
Populasi penduduk dunia
akan bertambah dan memerlukan pangan bagi 9 milyar orang pada tahun 2050
merupakan isu pendorong untuk pembangunan sektor pertanian pada dekade
mendatang. Saat ini populasi penduduk
dunia mencapai 7 milyar orang dan kita perkirakan mencapai 9 milyar pada
pertengahan abad ini. Berarti ada tambahan 2 milyar orang selama 40 tahun
mendatang atau meningkat sekitar 28%. Jika tambahan 2 milyar orang mengkonsumsi
pola makan yang sama dengan konsumsi penduduk dunia lainnya (yang sebenarnya
tidak mungkin, karena sebagian besar penduduk ini akan ditambahkan pada wilayah
miskin di dunia, dimana pola makannya sangat terbatas) maka diperlukan sekitar
28% tambahan pangan. Penting untuk dicatat
bahwa kita sedang membicarakan pilihan dunia. Apa yang akan dipilih, apakah pertumbuhan
populasi atau pola makan. Sehingga dapat
ditetapkan berapa banyak pangan yang sesungguhnya dibutuhkan. Terus dari mana
datangnya ide “sebanyak dua kali lipat” pangan yang harus diproduksi?.
Kebanyakan asumsi tersebut berdasarkan perubahan pola makan dan bukan hanya
pertumbuhan populasi saja. Bahkan, ahli ekologi David Tilman dan rekan-rekannya telah menunjukkan bahwa perubahan dalam pola
makan mungkin akan menjadi pendorong dominan permintaan pangan di masa depan.
Alasannya, ketika populasi diproyeksikan
akan tumbuh sebesar 2 milyar sampai tahun 2050, maka pada saat yang sama ada
sekitar 3 sampai 4 milyar orang di bumi yang sudah semakin kaya, terutama di
Cina, India, dan beberapa negara-dan lainnya. Jika mengacu pada sejarah, para
orang kaya tersebut diharapkan mengkonsumsi menu makanan seperti orang kaya.
Hal ini berarti 3-4 milyar orang akan mengkonsumsi daging, produk susu dan
olahannya, serta makanan lainnya lebih banyak dibanding jumlah konsumsi mereka sebelum
kaya. Sehingga tekanan terhadap sistem pangan dunia menjadi bertambah besar.
Kita punya pilihan
Menurut Tilman dkk,
meningkatnya kesejahteraan penduduk dan proyeksi peningkatan konsumsi daging
dapat mendorong permintaan pangan global lebih besar dibanding pertumbuhan
populasi penduduk. Peneliti tersebut memperkirakan 1/3 peningkatan permintaan
pangan dunia kedepan disebabkan pertumbuhan populasi dan 2/3 nya disebabkan
meningkatnya kesejahteraan penduduk dan pola makan yang berubah. Hal ini belum
ditambah adanya permintaan bahan pangan untuk biofuel. Penting untuk dicatat bahwa kita sedang
membicarakan pilihan dunia. Apa yang akan
dipilih, apakah pertumbuhan populasi atau pola makan. Sehingga dapat ditetapkan
berapa banyak pangan yang sesungguhnya dibutuhkan. Sementara itu, ada kekuatan
demografi dan ekonomi yang berpengaruh disini dengan momentum besar
dibelakangnya. Perlu upaya bersama untuk mengurangi pertumbuhan penduduk,
tetapi yang lebih penting adalah mengarahkan pola makan yang lebih
berkelanjutan, yang memungkinkan dapat mengurangi proyeksi permintaan pangan.
Orang sering bingung dengan pernyataan menanam banyak bahan pangan untuk
menghasilkan banyak pangan tersedia bagi dunia. Hal yang tidak sama. Kita bisa
berbuat banyak untuk mengurangi tekanan pada sistem pangan global dengan cara
pertama yaitu mengubah pola makan penduduk kaya di Amerika Utara dan Eropa. Beralihnya
pola makan dengan mengurangi konsumsi daging di kedua wilayah tersebut akan
memberikan dampak besar terhadap sistem pangan global. yang ke diet daging-intensif kurang di daerah ini
bisa memiliki dampak yang dramatis pada sistem pangan. Tetapi sama pentingnya juga
adalah memfokuskan perubahan pola makan bagi penduduk yang sedang meningkat
kesejahteraanya, sebagai contoh masyarakat klas menengah baru di kota-kota di
China, India, Indonesia, dan negara-negara lainnya. Akankah pola makan mereka sebagian
besar terus berbasis tanaman pangan dengan limbah sedikit, atau akan beralih ke
pola makan yang banyak mengkonsumsi daging seperti di negara barat? Pada
kenyataannya, pola makan yang akan mereka pilih untuk dikonsumsi pada masa
mendatang akan memberi dampak pada masa depan sistem pangan dunia.
Memproduksi
pangan lebih banyak bukan satu-satunya cara memperoleh pangan untuk di meja
makan.
Mungkin kita perlu
menanam banyak tanaman pangan tetapi tidak sebanyak seperti yang disarankan
pada awal artikel ini. Apa yang harus kita lakukan adalah menyiapkan pangan dan
nutrisi yang lebih bnayka bagi dunia. Dan ada cara lain untuk mencapainya
selain menanam banyak tanaman pangan di seluruh dunia, yaitu memanfaatkan
produk tanaman pangan yang telah ditanam dan memastikan tanaman tersebut dapat
memproduksi sebanyak mungkin makanan bergizi. Sayangnya, kita jarang mendengar
tentang pilihan ini, dan malah mengatakan berulang-ulang untuk menanam tanaman
sumber pangan sebanyak mungkin. Apa yang hilang adalah bagaimana kita bisa
menggunakan sumber daya saat ini seoptimal mungkin dengan cara pengurangan
limbah dan mengelola permintaan pangan dengan lebih baik. Jika kita menginginkan banyak makanan di meja
makan, strategi yang memungkinkan adalah pendekatan yang seimbang dengan
melihat sisi penawaran dan permintaan. Limbah makanan mengambil sekitar 30-40%
kalori dunia, tetapi jarang mendapat perhatian dari masyarakat. Meskipun kita
tidak dapat menghilangkan limbah makanan, kedepan pasti kita dapat
meminimalkan. Sedangkan penggunaan produk pangan untuk pakan ternak (bukan
untuk konsumsi manusia secara langsung) bisa sangat efisien untuk memberi
pangan bagi manusia. Begitu pula dengan penggunaan produk pangan untuk biofuel
akan mengorbankan penyedian pangan bagi penduduk dunia. Secara keseluruhan, ini
merupakan peluang sangat besar untuk menyediakan pangan bagi penduduk yang sama
tingkatannya dengan memproduksi pangan, dengan cara mengalihkan peternakan ke
padang rumput dengan memberi makan rumput dan mengalihkan tanaman pangan
sebagai bahan biofuel dengan tanaman non pangan. Pada dasarnya, bagaimana kita
menggunakan bahan tanaman sejumlah berapa banyak tanaman kita tanam.
Cassidy (2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap 1 ha
usahatani negara barat secara teori dapat menyediakan cukup kalori untuk
memberi makan 15 orang tiap harinya. Tetapi ada sesuatu terselubung: orang yang
ingin makan jagung dan kedelai, lahan tersebut akan langsung ditanami, bagian
dari pola makan berbasis tanaman dengan limbah minimal. Peneliti ini juga
menyatakan bahwa usahatani di negara barat hari ini hanya dapat menyediakan
pangan untuk 5 orang per hari per hektarnya. Sebab sebagian besar jagung dan
kedelai digunakan untuk etanol dan pakan ternak. Anehnya, memberi makan 5 orang
per hari per hektar tersebut sebanding dengan hasil rata-rata usahatani di
Bangladesh saat ini. Dengan kata lain, kita tanam banyak tanaman, tetapi tidak
terkonversi menjadi banyak makanan. Jadi kita bisa memberi pangan dengan
memikirkan kembali bagaimana kita memanfaatkan tanaman pangan (tanaman sumber
pangan pokok), apakah untuk pola makan berbasis tanaman, pakan ternak untuk
daging dan susunya, atau untuk bioetanol dan tidak membuang sisa-sisanya.
Perubahan Narasi
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka ada narasi baru yang mungkin
seperti ini: Dunia menghadapi tantangan besar untuk memberi makan populasi
penduduk dunia yang terus tumbuh, secara berkelanjutan tanpa merusak sumberdaya
dan lingkungan planet kita. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kita perlu
menyediakan pangan yang lebih banyak dengan cara menyeimbangkan antara menanam
banyak tanaman sumber pangan (sambil mengurangi dampak lingkungan akibat
kegiatan pertanian) dan menggunakan pangan yang kita miliki secara efektif.
Strategi kuncinya termasuk mengurangi limbah makanan, memikirkan kembali pola
makan kita dan pilihan biofuel, membatasi pertumbuhan penduduk, dan
menghasilkan lebih banyak makanan di dasar piramida pertanian dengan inovasi
teknologi agronomi skala rendah. Hanya melalui pendekatan yang seimbang antara
penawaran dan permintaan, kita dapat mengatasi tantangan yang sulit ini.
Sumber:
Foley, J. (2013): http://qz.com/155596/the-global-food-supply-has-a-demand-problem/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar