Social Icons

Pages

Jumat, 01 Mei 2015

Apakah Kedaulatan Pangan Menambah Lapar Penduduk Miskin dan Menghukum Planet Bumi?



Globalisasi bukan hanya soal pakaian dan ponsel. Pengiriman jarak jauh seluruh komoditas pangan dunia juga telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir. Lassaletta et al. (2014) memperkirakan bahwa sepertiga dari semua protein (proksi untuk potensi gizi dari bahan makanan) yang diproduksi secara global didistribusikan melalui perdagangan internasional. Suatu penelitian baru-baru ini di Perancis menunjukkan bahwa total volume pertukaran komersial komoditas pangan jarak jauh, sebagian besar berasal dari tempat yang jauh, mencapai lebih dari dua kali produksi pertanian nasional (Le NoƩ et al.). Namun, nilai positif dari pasokan makanan global sedang banyak dipertanyakan. Di negara-negara industri, gerakan warga telah muncul, kadang-kadang didukung oleh otoritas publik setempat, berusaha untuk mempromosikan pasokan makanan lokal. Gerakan ini bertujuan untuk merebut kembali kontrol nutrisi, menciptakan kembali hubungan sosial yang sering dihancurkan oleh adanya distribusi masal, dan mengembangkan ekonomi lokal. Negara-negara berkembang juga berusaha untuk memperkuat pasokan makanan lokal mereka dan memulihkan kembali kedaulatan pangannya yang hilang karena adanya kebijakan pasar terbuka. Pada kedua komunitas tersebut dan pada tingkat nasional, tujuan melokalisir pasokan makanan telah menjadi fokus sosial dan politik yang penting.

Namun demikian, pengiriman komoditas serealia dan kedelai atau bahan makanan lainnya dalam wadah kontainer melalui lautan sangat murah biayanya. Banyak studi menunjukkan bahwa hal ini tidak dengan sendirinya memiliki dampak besar terhadap lingkungan dibandingkan dengan dampak dari praktek pertanian. Konversi usahatani dengan produk kimia menjadi pertanian organik,  akan menghilangkan polusi pestisida dan meminimalkan kehilangan nitrogen ke lingkungan, sehingga akan berdampak lebih besar terhadap lingkungan daripada mengurangi "food-miles" (Weber dan Matthews, 2008). Food-miles merupakan terminologi jarak bahan makanan yang diangkut dari tempat produksinya sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, para ahli ekonomi telah mengusulkan manfaat komparatif dari memproduksi setiap jenis makanan di lahan yang paling cocok dan mengandalkan perdagangan internasional untuk mendistribusikan hasil produksinya. Hal ini merupakan salah satu sikap skeptis yang mengklaim bahwa target swasembada dan kedaulatan pangan yang berkompromi dengan lingkungan mungkin menawarkan pada ekonomi pasar dunia yang terbuka. Contohnya, Desrochers dan Shimizu (dalam Yes We Have No Bananas 2008) menyatakan bahwa memberi makan penduduk dunia yang tumbuh pesat secara berkelanjutan membutuhkan perdagangan jarak jauh untuk memastikan makanan yang diproduksi paling efisien di lokasi yang paling cocok. Selanjutnya, Ballingal dan Winchester (2008) menyatakan bahwa preferensi lokal dalam pilihan makanan di negara-negara maju akan menyebabkan "kelaparan penduduk miskin" dengan menghilangkan pendapatan komersial yang penting dari negara-negara Selatan.

Model Sistem Pangan Kita
Berdasarkan data FAO, kami membuat sebuah model sistem pangan dari 12 wilayah di dunia dalam hal fluks protein dari lahan pertanian yang subur, padang rumput, ternak dan nutrisi manusia. Selain menunjukkan disparitas geografis besar  sistem pangan dunia saat ini, model ini memungkinkan seseorang untuk menjelajahi kemungkinan memenuhi permintaan pangan seperti yang diperkirakan untuk tahun 2050, berdasarkan proyeksi demografi (penduduk dunia 9,25 milyar orang). Termasuk dalam model ini adalah kehilangan nitrogen (N) terhadap lingkungan yang dihasilkan pada setiap tahap rantai (Billen etal., 2014, 2015). Hal ini diketahui bahwa kehilangan tumpukan N akibat dari usaha pertanian memiliki efek besar pada air tanah, air tawar dan ekosistem laut, polusi udara dan keanekaragaman hayati terestrial yang jaraknya jauh dari lahan pertanian (Sutton et al., 2011). Idenya adalah untuk melihat kemampuan kita guna memberi makan populasi global dengan atau tanpa pertukaran perdagangan antar wilayah dengan memvariasikan makanan manusia serta intensitas penggunaan pupuk N dan peternakan. Untuk menjaga tidak berubahnya daerah lahan pertanian saat ini dan kinerja dasar sistem tanaman dan ternak di setiap wilayah, kita mengeksplorasi kapasitas untuk memberi makan dunia dan dampak lingkungan relatif yang sesuai dengan sejumlah besar kombinasi dari tiga pendorong penting terhadap sistem pangan. Pendorong pertama yang kami lakukan adalah pola makan manusia, khususnya  jumlah total protein yang dikonsumsi dan berapa bagian dari protein hewaninya. Saat ini, keduanya sangat bervariasi yaitu dari 3,7 kg protein N/kapita/tahun (angka minimum) dengan protein hewani 26% di Afrika, menjadi 6,5 kg protein N/kapita/tahun dengan protein hewani 65% di Eropa dan Amerika Utara. Diantara dua kondisi ekstrem ini, kelaparan di wilayah pertama dan kelebihan asupan makanan di wilayah kedua, menunjukkan masih ada ruang untuk penyesuaian. Pendorong kedua adalah produksi ternak regional. Ketika ternak merumput pada padang rumput semi alami, ternak memberikan cara yang efisien untuk mengubah sumber daya yang termakan menjadi makanan bernilai tinggi.

Kami tidak mengubah kegiatan agro-pastoralism dalam skenario kami. Namun, untuk memenuhi persyaratan daging dan susu dari populasi yang melampaui apa yang diperoleh dari merumput di padang rumput semi alami, daerah tersebut dapat  mengimpor produk hewani atau mengembangkan peternakan campuran atau sistem peternakan minimal lahan. Hal ini membutuhkan baik pakan impor atau budidaya tanaman pakan ternak. Strategi seperti ini juga dapat bersaing dengan nutrisi manusia.  Terakhir, pendorong ketiga adalah tingkat intensifikasi budidaya tanaman, khususnya tingkat pemupukan lahan pertanian. Di setiap bagian wilayah dunia, model kami dapat menilai respon dari hasil panen terhadap total masukan N kedalam tanah sebagai pupuk, pupuk sintetis, simbiosis fiksasi N oleh tanaman legum dan deposisi atmosfer. Pemupukan N merupakan pendorong utama produksi tanaman. Namun, karena bentuk asimtotik dari hubungan hasil-vs-pupuk, yang mengekspresikan “the law of diminishing returns”,  semakin tinggi tingkat masukan N ke dalam tanah, semakin besar kehilangan N. Kehilangan ini akan mencemari sumber daya air dan atmosfer (Lassaletta et al., 2014).

Hasil Utama
Analisis hasil penelitian menunjukkan bahwa memberi makan penduduk dunia pada tahun 2050 akan melibatkan perdagangan antar wilayah dan kontaminasi N terhadap lingkungan lebih tinggi dibanding kondisi saat ini. Jika ada keadilan pola konsumsi manusia (khusus konsumsi protein) yang terbentuk secara global, bagian protein hewani jangan melebihi 40% dari total konsumsi makanan. Untuk penduduk Eropa dan Amerika Utara berarti mengubah pola konsumsi saat ini, daging dan susu yang besar, kearah yang mendekati pola konsumsi pola makan penduduk Mediteran yaitu porsi yang besar untuk protein nabati, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan. Hasil penting lainnya adalah sedikit meningkatnya kinerja agronomi di  negara-negara yang kurang pangan (Timur Tengah, Sub Sahara Afrika dan India) sampai pada tingkat dimana mereka dapat mandiri pada pada pola konsumsi minimal (yaitu 4 kg N/kapita/tahun sesuai reomendasi WHO). Hal ini akan memungkinkan memberi makan dunia dengan lebih sedikit pertukaran perdangan (lebih berdaulat pangan) dan mengurangi pencemaran N pada lingkungan. Hasil ini menunjukkan pada skala global dan kontras dengan apa yang sering diklaim, bahwa tujuan kedaulatan pangan konsisten dengan meminimalkan pencemaran lingkungan pertanian. Sebagai contoh, di Perancis dan Spanyol, merelokalisir pasokan pangan dan menghubungkan kembali pertanian dengan pemuliaan ternak dan konsumsi pangan akan memperbaiki kualitas sumberdaya air (Billen et al., 2012, Lassaletta et al., 2013). Mengambil proyeksi peningkatan populasi dunia sebagai argumen untuk menjustifikasi upaya yang tidak akan berakhir yaitu meningkatkan produktivitas pertanian di negara maju yang penduduknya telah stabil kehidupannya, sama sekali tidak benar. Sebaliknya, skenario ekstensifikasi pertanian Eropa yang diusulkan oleh van Grinsven et al. (2015) terbukti bermanfaat baik dari segi biaya lingkungan dan pasokan makanan di pasar dunia.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates