Globalisasi bukan hanya soal
pakaian dan ponsel. Pengiriman jarak jauh seluruh komoditas pangan dunia juga telah
meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir. Lassaletta et al. (2014) memperkirakan bahwa sepertiga dari semua protein (proksi
untuk potensi gizi dari bahan makanan)
yang diproduksi secara global didistribusikan melalui perdagangan internasional. Suatu penelitian baru-baru ini di Perancis menunjukkan bahwa total volume pertukaran komersial komoditas
pangan jarak jauh, sebagian besar berasal dari tempat yang jauh, mencapai lebih dari dua kali produksi pertanian nasional (Le NoƩ et al.). Namun, nilai positif
dari pasokan makanan global sedang banyak dipertanyakan. Di negara-negara industri, gerakan warga telah
muncul, kadang-kadang didukung oleh
otoritas publik setempat,
berusaha untuk mempromosikan pasokan
makanan lokal. Gerakan ini bertujuan untuk merebut kembali kontrol nutrisi, menciptakan
kembali hubungan sosial yang sering
dihancurkan oleh adanya distribusi masal,
dan mengembangkan ekonomi lokal. Negara-negara berkembang juga berusaha untuk memperkuat pasokan makanan lokal mereka dan memulihkan kembali kedaulatan pangannya yang
hilang karena adanya kebijakan pasar
terbuka. Pada kedua komunitas
tersebut dan pada tingkat nasional,
tujuan melokalisir pasokan makanan telah menjadi fokus sosial dan politik
yang penting.
Namun demikian,
pengiriman komoditas serealia dan kedelai atau bahan makanan lainnya dalam wadah
kontainer melalui lautan sangat murah biayanya. Banyak studi menunjukkan bahwa
hal ini tidak dengan sendirinya memiliki dampak besar terhadap lingkungan dibandingkan
dengan dampak dari praktek pertanian. Konversi usahatani dengan produk kimia
menjadi pertanian organik, akan
menghilangkan polusi pestisida dan meminimalkan kehilangan nitrogen ke
lingkungan, sehingga akan berdampak lebih besar terhadap lingkungan daripada
mengurangi "food-miles" (Weber dan Matthews, 2008). Food-miles
merupakan terminologi jarak bahan makanan yang diangkut dari tempat produksinya
sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, para ahli ekonomi telah mengusulkan
manfaat komparatif dari memproduksi setiap jenis makanan di lahan yang paling
cocok dan mengandalkan perdagangan internasional untuk mendistribusikan hasil
produksinya. Hal ini merupakan salah satu sikap skeptis yang mengklaim bahwa
target swasembada dan kedaulatan pangan yang berkompromi dengan lingkungan mungkin
menawarkan pada ekonomi pasar dunia yang terbuka. Contohnya, Desrochers dan
Shimizu (dalam Yes We Have No Bananas 2008) menyatakan bahwa memberi makan
penduduk dunia yang tumbuh pesat secara berkelanjutan membutuhkan perdagangan
jarak jauh untuk memastikan makanan yang diproduksi paling efisien di lokasi
yang paling cocok. Selanjutnya, Ballingal dan Winchester (2008) menyatakan bahwa
preferensi lokal dalam pilihan makanan di negara-negara maju akan menyebabkan
"kelaparan penduduk miskin" dengan menghilangkan pendapatan komersial
yang penting dari negara-negara Selatan.
Model Sistem Pangan Kita
Berdasarkan
data FAO,
kami membuat sebuah model sistem pangan dari 12
wilayah di dunia dalam hal fluks protein dari lahan pertanian yang subur, padang rumput, ternak dan nutrisi manusia. Selain menunjukkan disparitas geografis besar sistem pangan dunia saat ini,
model ini memungkinkan seseorang untuk
menjelajahi kemungkinan memenuhi permintaan pangan seperti yang diperkirakan untuk tahun 2050,
berdasarkan proyeksi demografi (penduduk dunia 9,25 milyar orang). Termasuk
dalam model ini adalah kehilangan nitrogen (N) terhadap lingkungan
yang dihasilkan pada setiap tahap
rantai (Billen etal., 2014, 2015).
Hal ini diketahui bahwa kehilangan
tumpukan N akibat dari usaha pertanian memiliki
efek besar pada air tanah,
air tawar dan ekosistem
laut, polusi udara dan
keanekaragaman hayati terestrial yang jaraknya jauh dari lahan pertanian (Sutton et al., 2011). Idenya adalah untuk melihat kemampuan kita guna memberi
makan populasi global dengan atau tanpa pertukaran perdagangan antar wilayah
dengan memvariasikan makanan manusia serta intensitas penggunaan pupuk N dan
peternakan. Untuk menjaga tidak berubahnya daerah lahan pertanian saat ini dan
kinerja dasar sistem tanaman dan ternak di setiap wilayah, kita mengeksplorasi
kapasitas untuk memberi makan dunia dan dampak lingkungan relatif yang sesuai
dengan sejumlah besar kombinasi dari tiga pendorong penting terhadap sistem
pangan. Pendorong pertama yang kami lakukan adalah pola makan manusia,
khususnya jumlah total protein yang
dikonsumsi dan berapa bagian dari protein hewaninya. Saat ini, keduanya sangat
bervariasi yaitu dari 3,7 kg protein N/kapita/tahun (angka minimum) dengan
protein hewani 26% di Afrika, menjadi 6,5 kg protein N/kapita/tahun dengan
protein hewani 65% di Eropa dan Amerika Utara. Diantara dua kondisi ekstrem ini,
kelaparan di wilayah pertama dan kelebihan asupan makanan di wilayah kedua,
menunjukkan masih ada ruang untuk penyesuaian. Pendorong kedua adalah produksi
ternak regional. Ketika ternak merumput pada padang rumput semi alami, ternak
memberikan cara yang efisien untuk mengubah sumber daya yang termakan menjadi makanan
bernilai tinggi.
Kami tidak mengubah
kegiatan agro-pastoralism dalam skenario kami. Namun, untuk memenuhi persyaratan
daging dan susu dari populasi yang melampaui apa yang diperoleh dari merumput
di padang rumput semi alami, daerah tersebut dapat mengimpor produk hewani atau mengembangkan
peternakan campuran atau sistem peternakan minimal lahan. Hal ini membutuhkan
baik pakan impor atau budidaya tanaman pakan ternak. Strategi seperti ini juga
dapat bersaing dengan nutrisi manusia.
Terakhir, pendorong ketiga adalah tingkat
intensifikasi budidaya tanaman, khususnya tingkat pemupukan lahan pertanian. Di
setiap bagian wilayah dunia, model kami dapat menilai respon dari hasil panen terhadap
total masukan N kedalam tanah sebagai pupuk, pupuk sintetis, simbiosis fiksasi
N oleh tanaman legum dan deposisi atmosfer. Pemupukan N merupakan
pendorong utama produksi tanaman. Namun, karena bentuk asimtotik dari hubungan hasil-vs-pupuk,
yang mengekspresikan “the law of diminishing returns”, semakin tinggi tingkat masukan N ke dalam
tanah, semakin besar kehilangan N. Kehilangan ini akan mencemari sumber daya
air dan atmosfer (Lassaletta et al., 2014).
Hasil
Utama
Analisis hasil penelitian menunjukkan bahwa memberi
makan penduduk dunia pada tahun 2050 akan melibatkan perdagangan antar wilayah
dan kontaminasi N terhadap lingkungan lebih tinggi dibanding kondisi saat ini.
Jika ada keadilan pola konsumsi manusia (khusus konsumsi protein) yang
terbentuk secara global, bagian protein hewani jangan melebihi 40% dari total
konsumsi makanan. Untuk penduduk Eropa dan Amerika Utara berarti mengubah pola
konsumsi saat ini, daging dan susu yang besar, kearah yang mendekati pola konsumsi
pola makan penduduk Mediteran yaitu porsi yang besar untuk protein nabati,
kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan. Hasil penting lainnya adalah sedikit
meningkatnya kinerja agronomi di
negara-negara yang kurang pangan (Timur Tengah, Sub Sahara Afrika dan
India) sampai pada tingkat dimana mereka dapat mandiri pada pada pola konsumsi
minimal (yaitu 4 kg N/kapita/tahun sesuai reomendasi WHO). Hal ini akan
memungkinkan memberi makan dunia dengan lebih sedikit pertukaran perdangan
(lebih berdaulat pangan) dan mengurangi pencemaran N pada lingkungan. Hasil ini
menunjukkan pada skala global dan kontras dengan apa yang sering diklaim, bahwa
tujuan kedaulatan pangan konsisten dengan meminimalkan pencemaran lingkungan
pertanian. Sebagai contoh, di Perancis dan Spanyol, merelokalisir pasokan
pangan dan menghubungkan kembali pertanian dengan pemuliaan ternak dan konsumsi
pangan akan memperbaiki kualitas sumberdaya air (Billen et
al., 2012, Lassaletta et
al., 2013). Mengambil proyeksi peningkatan populasi dunia sebagai
argumen untuk menjustifikasi upaya yang tidak akan berakhir yaitu meningkatkan
produktivitas pertanian di negara maju yang penduduknya telah stabil
kehidupannya, sama sekali tidak benar. Sebaliknya,
skenario ekstensifikasi pertanian Eropa yang diusulkan oleh van Grinsven et al.
(2015) terbukti bermanfaat baik dari segi biaya lingkungan dan pasokan makanan
di pasar dunia.
Sumber:
Gilles Billen, Luis Lassaletta and Josette Garnier (2015)
http://www.independentsciencenews.org/environment/will-food-sovereignty-starve-the-poor-and-punish-the-planet/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar