Para peneliti pertanian
telah membantu meningkatkan hasil panen petani di China dengan tinggal di
antara para petani untuk mentransfer inovasi dari akademisi ke lahan petani. Program
pekarangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimulai pada tahun 2009 dengan para
profesor dan mahasiswa pasca sarjana dari China Agricultural University yang
pindah ke desa-desa di Kabupaten Quzhou, provinsi Hebei, untuk membantu para petani
kecil memperbaiki usahataninya. Lebih
dari lima tahun, hasil rata-rata hasil panen utama tanaman gandum dan jagung
meningkat 62,8 persen dari apa yang secara teori mungkin bisa menjadi 79,6
persen sesuai hasil riset baru-baru ini yang dipublikasikan di majalah Nature.
Menyusul keberhasilan program percontohan tersebut, saat ini telah ada sekitar
71 lokasi pengembangan di 21 propinsi dari 23 propinsi di China.
Biasanya, para ilmuwan memberikan
teknologi dan berharap petani bisa mengadopsinya, tetapi mereka kurang
benar-benar berfikir apa yang sesungguhnya dibutuhkan petani. Dalam riset ini, para
peneliti tinggal di desa dan bekerja sama dengan para petani. Para peneliti meminta
para petani untuk menunjukkan pengalaman
dan filosofinya ke dalam teknik usahataninya dan kemudian merevisinya. Melalui
pengujian guna membandingkan teknik petani dengan teknik petani di lahan mereka
sendiri, para ilmuwan mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berkontribusi penyebab
kesenjangan hasil dan diperoleh 10 rekomendasi teknik yang diusulkan untuk untuk
mengatasi senjang hasil. Setelah meminta
masukan dari para petani, serangkaian rekomendasi yang direvisi diuji oleh 71
petani kooperator dan hasilnya meningkat dari 67,9 persen dari besaran hasil yang
dapat dicapai hasil rata-rata 97 persen antara tahun 2009 dan 2014.
Rekomendasi disampaikan
melalui demonstrasi lapangan, sekolah pertanian, kontes hasil panen dan poster
di sepanjang jalan utama. Kerjasama 30 sampai 40 rumah tangga petani diorganisir
untuk membantu petani membeli input secara massal atau mengkoordinasikan pekerjaan
usahatani skala besar seperti irigasi atau pengolahan lahan sawah. Zhang
percaya bahwa sistem tersebut sebaiknya direplikasi di negara-negara Asia
lainnya yang mengahadapi permasalahan hampir sama seperti akses terhadap sarana
produksi dan membutuhkan kondisi politik yang stabil serta sistem pendidikan
pertanian. Namun, Maximo Torero,
direktur di IFPRI menyatakan bahwa replikasi program tersebut tidak sesedehana
itu. Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda baik dalam kondisi
agroekologis maupun pada tingkat pengembangan kelembagaannya. Perihal kesenjangan
hasil sebaiknya juga jangan mengabaikan hal
lain yang penting yaitu apakah ada permintaan ekstra untuk komoditas dan faktor
lain seperti infrastruktur yang menghubungkan petani kecil ke pasar.
Leah Samberg, seorang
peneliti yang mempelajari pertanian skala kecil di Universitas Minnesota di
Amerika Serikat, menyatakan bahwa pendekatan dari peneliti China tersebut tidak
jauh berbeda dengan program "penyuluhan pertanian" yang membantu petani menerapkan temuan ilmiah
melalui pendidikan. Pendekatan program para peneliti China jika dirancang
dengan baik dan partisipatif, dengan skala waktu yang lama dengan keragaman
faktor merupakan kekuatan utama, namun peningkatan hasil yang dilaporkan akan
meningkat dalam waktu singkat dan mungkin tidak begitu tinggi. Samberg
setuju dengan Torero bahwa fokus sempit pada kesenjangan hasil untuk tanaman
tertentu mungkin kontra produktif karena diversifikasi akan membuat petani lebih
tahan terhadap guncangan. Jika petani terlalu banyak menginvestasikan sumber
daya untuk meningkatkan hasil panen pada satu komoditas, mereka berada dalam
masalah besar jika panen komoditas itu mengalami kegagalan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar