Petani perempuan
menderita kerugian ganda yaitu kurangnya akses terhadap modal dan tenaga kerja,
sehingga lahan usahataninya menjadi kurang produktif daripada yang dikelola oleh
petani laki-laki. Sebuah studi dalam jurnal Development Studies menemukan bahwa
akses terbatas terhadap kredit berarti petani perempuan pemilik lahan di Malawi
harus mencari pekerjaan di luar pertanian untuk meningkatkan modal usahatani
seperti peralatan dan pupuk. Tetapi karena adanya diskriminasi gender di pasar
tenaga kerja, mereka sering tidak dapat memperoleh pekerjaan yang dapat
membayar cukup baik. Akibatnya,
produktivitas tenaga kerja di lahan usahatani yang dijalankan oleh wanita
adalah rata-rata sebesar 44 persen lebih rendah daripada lahan usahatani yang
dijalankan oleh laki-laki. Menurut studi tersebut, hal itu menempatkan petani
perempuan pada kerugian ekonomi yang signifikan.
Amparo Palacios-López,
seorang peneliti pembangunan di Bank Dunia, dan Ramón López, seorang ekonom di
University of Chile, menghasilkan suatu riset untuk Bank Dunia. Mereka menyatakan
bahwa yang penting adalah mengatasi hambatan sosial budaya yang menghambat
petani perempuan untuk meningkatkan usahatani mereka, rendahnya pendapatan
rumah tangga akan merugikan kesehatan, pendidikan dan gizi dari keluarga
mereka. Studi ini menyatakan bahwa perempuan sering dibatasi untuk usahatani
skala kecil di Sub-Sahara Afrika karena mereka merasa lebih sulit daripada
laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang dibayar jika mereka bercerai, status janda
atau tidak pernah menikah. Selain itu ditemukan pula bahwa karena kelemahan perempuan
menghadapi pasar, plot mereka lebih kecil dan penggunaan pupuk anorganik lebih
rendah. Memperbaiki kegagalan kredit dan pasar tenaga kerja cenderung memiliki
dampak yang lebih besar pada perempuan yang menjadi kepala keluarga dari pada rumah
tangga yang dikepalai laki-laki.
Masalah ini adalah
masalah bagi petani perempuan di seluruh dunia, kata Kavitha Kuruganti, anggota
dari Forum India untuk Hak-Hak Petani Perempuan. Kuruganti mengatakan bahwa di
India, negara dan masyarakat sering gagal untuk memahami perempuan sebagai
petani karena lahan yang mereka gunakan adalah atas nama suami mereka. Petani
perempuan ditolak aksesnya yang sama untuk kredit karena tanah tidak atas nama
mereka. Ketika bank tidak meminjamkan uang, petani perempuan akhirnya mencari
hutangan dan terlibat dalam praktik eksploitatif. Studi Bank Dunia menemukan
bahwa perempuan juga merasa lebih sulit untuk menyewa buruh tani. Kerja fisik
yang berat seperti membajak mungkin bermasalah ketika petani perempuan tidak
mampu membantu atau tidak dapat menemukan laki-laki yang bersedia bekerja untuk
mereka. Kuruganti menyatakan hal ini benar terjadi terutama di daerah di mana
banyak laki-laki meninggalkan desa untuk bekerja di kota. Perempuan yang tidak
bisa mempekerjakan tenaga kerja tambahan dipaksa untuk mengolah lahan yang
lebih kecil, siklus yang merugikan berjalan terus.
Sumber: