Social Icons

Pages

Senin, 26 September 2016

Petani perempuan menderita akibat peningkatan produktivitas dua kali lipat



Petani perempuan menderita kerugian ganda yaitu kurangnya akses terhadap modal dan tenaga kerja, sehingga lahan usahataninya menjadi kurang produktif daripada yang dikelola oleh petani laki-laki. Sebuah studi dalam jurnal Development Studies menemukan bahwa akses terbatas terhadap kredit berarti petani perempuan pemilik lahan di Malawi harus mencari pekerjaan di luar pertanian untuk meningkatkan modal usahatani seperti peralatan dan pupuk. Tetapi karena adanya diskriminasi gender di pasar tenaga kerja, mereka sering tidak dapat memperoleh pekerjaan yang dapat membayar cukup baik.  Akibatnya, produktivitas tenaga kerja di lahan usahatani yang dijalankan oleh wanita adalah rata-rata sebesar 44 persen lebih rendah daripada lahan usahatani yang dijalankan oleh laki-laki. Menurut studi tersebut, hal itu menempatkan petani perempuan pada kerugian ekonomi yang signifikan.
                            
Amparo Palacios-López, seorang peneliti pembangunan di Bank Dunia, dan Ramón López, seorang ekonom di University of Chile, menghasilkan suatu riset untuk Bank Dunia. Mereka menyatakan bahwa yang penting adalah mengatasi hambatan sosial budaya yang menghambat petani perempuan untuk meningkatkan usahatani mereka, rendahnya pendapatan rumah tangga akan merugikan kesehatan, pendidikan dan gizi dari keluarga mereka. Studi ini menyatakan bahwa perempuan sering dibatasi untuk usahatani skala kecil di Sub-Sahara Afrika karena mereka merasa lebih sulit daripada laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang dibayar jika mereka bercerai, status janda atau tidak pernah menikah. Selain itu ditemukan pula bahwa karena kelemahan perempuan menghadapi pasar, plot mereka lebih kecil dan penggunaan pupuk anorganik lebih rendah. Memperbaiki kegagalan kredit dan pasar tenaga kerja cenderung memiliki dampak yang lebih besar pada perempuan yang menjadi kepala keluarga dari pada rumah tangga yang dikepalai laki-laki.

Masalah ini adalah masalah bagi petani perempuan di seluruh dunia, kata Kavitha Kuruganti, anggota dari Forum India untuk Hak-Hak Petani Perempuan. Kuruganti mengatakan bahwa di India, negara dan masyarakat sering gagal untuk memahami perempuan sebagai petani karena lahan yang mereka gunakan adalah atas nama suami mereka. Petani perempuan ditolak aksesnya yang sama untuk kredit karena tanah tidak atas nama mereka. Ketika bank tidak meminjamkan uang, petani perempuan akhirnya mencari hutangan dan terlibat dalam praktik eksploitatif. Studi Bank Dunia menemukan bahwa perempuan juga merasa lebih sulit untuk menyewa buruh tani. Kerja fisik yang berat seperti membajak mungkin bermasalah ketika petani perempuan tidak mampu membantu atau tidak dapat menemukan laki-laki yang bersedia bekerja untuk mereka. Kuruganti menyatakan hal ini benar terjadi terutama di daerah di mana banyak laki-laki meninggalkan desa untuk bekerja di kota. Perempuan yang tidak bisa mempekerjakan tenaga kerja tambahan dipaksa untuk mengolah lahan yang lebih kecil, siklus yang merugikan berjalan terus.



Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates