Sebuah hasil riset
menunjukkan bahwa pada tahun 2030, dunia bisa kehilangan jutaan lahan pertanian
yang subur untuk memperluas kota. Di Asia dan Afrika diperkirakan sekitar 80
persen dari total lahan pertanian yang hilang. Menganalisis data satelit
tentang lahan pertanian dan produktivitasnya dengan menggunakan tahun 2000
sebagai titik referensi dan membandingkannya dengan proyeksi wilayah perkotaan
pada tahun 2030, periset internasional menemukan bahwa 30 juta hektar lahan pertanian
akan hilang sebagai akibat pertumbuhan perkotaan. Dari jumlah tersebut, Asia
dan Afrika akan kehilangan 24 juta hektar lahan pertanian utamanya. Dengan
adanya kota-kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, diharapkan perubahan
skala besar akan terjadi. Namun, hal ini merupakan studi pertama yang mengkaji
dampak urbanisasi pada lahan pertanian di tingkat global, regional, dan negara.
Studi ini dilakukan oleh peneliti dari Austria, Jerman, Swedia, Selandia Baru,
dan Amerika Serikat. Lahan pertanian yang akan hilang pada tahun 2030 memiliki
produktivitas yang hampir dua kali lipat dari produktivitas rata-rata global
dan menyumbang sekitar 3-4 persen dari produksi tanaman global pada tahun 2000.
Selasa, 03 April 2018
Selasa, 06 Maret 2018
Perbaikan irigasi mengurangi kesenjangan pangan
Menurut para ilmuwan,
jika semua petani menerapkan metode pengelolaan air, produksi pangan global
dapat meningkat sekitar 41 persen. Para peneliti yang menulis sebuah makalah yang
diterbitkan dalam jurnal Environmental
Research Letters menyatakan bahwa strategi pengelolaan air yang ambisius dapat meningkatkan perbaikan irigasi dan dapat mengurangi
separuh kesenjangan pangan dunia. Hal ini merupakani potensi peningkatan hasil
panen yang dapat menyediakan setengah kalori yang dibutuhkan untuk memberantas
kelaparan di seluruh dunia pada tahun 2050. Untuk mengukur dampak teknik pengelolaan air-tanaman,
model ini mempertimbangkan hujan dan data iklim lainnya dari tahun 1901 sampai
2009 dan mensimulasikan berbagai skenario perbaikan irigasi, konservasi
kelembaban tanah dan pemanenan air hujan. Berdasarkan skenario yang paling optimis, produksi dapat
meningkat lebih dari 55 persen di banyak wilayah sungai antara Timur Tengah,
Asia Tengah, China, Australia, Afrika Selatan dan Amerika Utara dan Selatan.
Kamis, 01 Februari 2018
Data terbuka sebaiknya juga tentang orang, jangan hanya inovasi.
Perubahan sejati akan terjadi jika kita
berhenti memperlakukan data sebagai suatu teknologi dan menjangkau kelompok
yang terpinggirkan, kata Ana Brandusescu. Di Filipina, ustadz - guru agama Islam
- berjuang tanpa sumber daya yang cukup untuk memberikan pendidikan
berkualitas. Meskipun dana tersedia dari pemerintah daerah, yang diminta untuk
menginformasikan anggaran mereka, namun mereka hanya sedikit usaha untuk
membagikan data ini kepada masyarakat atau menjelaskan bagaimana cara
menggunakannya. Ketika E-NET, sebuah LSM lokal, mulai mengedukasi ustadz
tentang bagaimana menggunakan data ini, mereka menemukan adanya Dana Pendidikan
Khusus untuk sekolah umum - sebuah dana yang tidak pernah diberitahukan kepada
mereka - yang dapat mencakup seragam sekolah dan gaji guru.
Pada keberhasilan itu, para guru memperluas
penggunaan data terbuka mereka, menciptakan sebuah koalisi, Federasi Komunitas Ustadz
Madrasa Kotabato Utara, yang sekarang menggunakan data terbuka untuk membuat
rekomendasi tidak hanya mengenai anggaran, tetapi juga mengenai prioritas
kebijakan untuk pendidikan masyarakat. Kita sering memikirkan data terbuka
sebagai teknis atau bagian dari transformasi digital suatu negara. Tapi sebenarnya,
data terbuka adalah tentang orang, masalah mereka, dan memberi mereka kemampuan
untuk menyelesaikan masalahnya. Sayangnya, contoh para guru agama di Filipina
ini yang memanfaatkan data anggaran
pemerintah masih sangat jarang. Mengapa kita tidak dapat lebih sering memanfaatkan
data terbuka untuk mengatasi ketidaksetaraan?. Mengapa hal itu tidak menghasilkan partisipasi
spektrum warga yang lebih luas?.
Senin, 01 Januari 2018
Mentransfer inovasi dari universitas ke lahan petani
Para peneliti pertanian
telah membantu meningkatkan hasil panen petani di China dengan tinggal di
antara para petani untuk mentransfer inovasi dari akademisi ke lahan petani. Program
pekarangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimulai pada tahun 2009 dengan para
profesor dan mahasiswa pasca sarjana dari China Agricultural University yang
pindah ke desa-desa di Kabupaten Quzhou, provinsi Hebei, untuk membantu para petani
kecil memperbaiki usahataninya. Lebih
dari lima tahun, hasil rata-rata hasil panen utama tanaman gandum dan jagung
meningkat 62,8 persen dari apa yang secara teori mungkin bisa menjadi 79,6
persen sesuai hasil riset baru-baru ini yang dipublikasikan di majalah Nature.
Menyusul keberhasilan program percontohan tersebut, saat ini telah ada sekitar
71 lokasi pengembangan di 21 propinsi dari 23 propinsi di China.
Biasanya, para ilmuwan memberikan
teknologi dan berharap petani bisa mengadopsinya, tetapi mereka kurang
benar-benar berfikir apa yang sesungguhnya dibutuhkan petani. Dalam riset ini, para
peneliti tinggal di desa dan bekerja sama dengan para petani. Para peneliti meminta
para petani untuk menunjukkan pengalaman
dan filosofinya ke dalam teknik usahataninya dan kemudian merevisinya. Melalui
pengujian guna membandingkan teknik petani dengan teknik petani di lahan mereka
sendiri, para ilmuwan mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berkontribusi penyebab
kesenjangan hasil dan diperoleh 10 rekomendasi teknik yang diusulkan untuk untuk
mengatasi senjang hasil. Setelah meminta
masukan dari para petani, serangkaian rekomendasi yang direvisi diuji oleh 71
petani kooperator dan hasilnya meningkat dari 67,9 persen dari besaran hasil yang
dapat dicapai hasil rata-rata 97 persen antara tahun 2009 dan 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)