Manfaat pertanian organik bagi kesehatan
manusia sudah diakui dunia. Produk tanaman organik mengandung sejumlah antioksidan tertentu (vitamin C,
polifenol dan flavonoid) dan mineral, serta memiliki
kandungan bahan kering yang lebih
tinggi dibanding produk tanaman dari pertanian
konvensional. Selain itu, kandungan residu pestisida,
nitrat dan kontaminasi logam berat yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
konvensional (Györéné, Vargaand Lugasi in 2006). Tetapi dalam
menghadapi harga pangan terus meningkat dan populasi penduduk dunia mencapai 9
milyar orang pada tahun 2050, sering timbul pertanyaan apakah pertanian organik
dapat membantu ketahanan pangan dunia?. Bagaimana menyediakan pangan dunia
merupakan isu besar yang tidak hanya menyangkut masalah bagaimana pangan
diproduksi, pangan apa yang diproduksi, dimana dan siapa yang memproduksi,
serta siapa yang memiliki akses ke lahan pertanian, teknologi dan pengetahuan
untuk memproduksinya, bagaimana pangan diperdagangkan, serta siapa yang mampu
membeli pangan (UNEP-UNCTAD, 2008)?. Dalam
konteks ini, bukan untuk mengatasi semua permasalahan tersebut, tetapi ingin lebih
memahami adanya perubahan besar yaitu 1) bagaimana kita memproduksi dan
mengkonsumsi pangan, 2) perlunya pengembangan usahatani subsisten dan pasar
lokal di dunia bagian selatan, 3) perlunya aksi untuk menghilangkan limbah
makanan, yang diperkirakan sebesar 1/3 dari semua pangan yang diproduksi dunia,
dan 4) adanya perubahan pola makan
penduduk dunia bagian utara agar lebih sehat dan melesatarikan planet bumi usual’
(Niggli, U., 2011).
Saat ini, tersedia pangan
yang memiliki nutrisi yang dibutuhkan oleh sebagian penduduk dunia, namun disisi
lain ada sekitar 1 milyar orang yang kelaparan dan 1 milyar lainnya yang
kekurangan gizi (kekurangan vitamin dan mineral) yang dibutuhkan untuk hidup
sehat. Pada saat yang sama, terdapat lebih dari 1 milyar penduduk yang
kelebihan berat badan, diantaranya 300 juta mengalami obesitas dan memiliki
resiko menderita penyakit diababetes tipe-2 dan jantung. Hal ini jelas terjadi
ketidakseimbangan distribusi pangan di dunia. Banyak orang tetap kelaparan
karena tidak mampu membeli pangan atau mengusahakan sendiri karena tidak
memiliki lahan pertanian. Hal ini terjadi karena kemiskinan dan juga penyebab
lainnya seperti bencana alam, konflik antar negara/penduduk, budidaya pertanian
buruk, infrastruktur buruk, dan ekploitasi lingkungan tidak terkendali. Penyebab
lainnya adalah meningkatnya harga pangan dunia yang mendorong lebih banyak
penduduk di dunia bagian selatan yang tergantung pada impor pangan dan
menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli pangan, mengalami kelaparan.
Pentingnya
perubahan pola makan
Telah menjadi
perhatian serius para ahli kesehatan internasional tentang pola makan penduduk
di negara eropa dan USA yang berdampak pada buruknya kesehatan, termasuk meningkatnya obesitas dan
penyakit-penyakit kanker maupun jantung.
Oleh karena itu pembuat kebijakan di Inggris menyarankan perlunya
perubahan pola makan pada masyarakat Eropa. Menyeimbangkan pola makan merupakan
salah satu cara radikal yang diperlukan jika sektor pertanian akan kontinyu
menurunkan emisi gas rumah kaca setelah
tahun 2030. Saat ini diprediksi ada sekitar
35-40% produksi serealia dunia (padi, jagung dan gandum) untuk pakan ternak
besar maupun kecil dan kemungkinan dapat mencapai 50% pada tahun 2050. Jika
konsumsi daging penduduk dunia sesuai hasil prediksi para ahli pertanian
internasional. Tanaman serealia untuk pakan ternak sangat tidak efisien
penggunaan kalorinya dan menguras sumberdaya. Kehilangan kalori akibat penggunaan tanaman
serealia untuk pakan ternak dibanding langsung untuk bahan pangan manusia
setara dengan kebutuhan kalori tahunan sekitar 3,5 milyar orang. Disisi lain, para ilmuwan telah mulai mengukur berapa banyak tambahan orang
yang dapat diberi makan jika kita mengurangi konsumsi daging. Hasil studi menunjukkan
bahwa jika kita mengurangi konsumsi daging di dunia bagian utara dan mempertahankan
jumlah konsumsi di seluruh dunia pada tingkat 3,4 kg per orang per tahun, maka diperkirakan akan
diperoleh tambahan 400 juta ton sereal per tahun untuk konsumsi manusia dan
cukup untuk menutupi kebutuhan kalori tahunan bagi tambahan 1,2 miliar orang pada tahun 2050. Jumlah
ini merupakan hampir setengah dari pertumbuhan penduduk yang diperkirakan dari
7 miliar pada 2011 menjadi 9,3 milyar pada tahun 2050 (Nellemanndkk., 2009).
Meminimalkan limbah makanan
Disisi lain, sistem
pangan kita saat ini menghasilkan banyak limbah makanan. Di Inggris, limbah
pangan rumah tangga diperkirakan 6,7 juta ton per tahun. Sekitar 32% pangan
yang dibeli tidak dimakan. Pada skala global diperkirakan 1/3 pangan yang
diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang atau sekitar 1,3 milyar ton per
tahun (Gustavssondkk., 2011). Lebih banyak lagi yang terbuang yaitu sekitar 280-300
kg per tahun di Eropa dan Amerika Utara, dibandingkan sekitar 125-165 kg per tahun
di negara-negara sedang berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia
Selatan/Tenggara. Di dunia bagaian Utara, limbah makanan terjadi pada tahap
konsumsi karena kurang baiknya koordinasi para pelaku rantai makanan, kurang
sesuai dengan standar kualitas, tidak laku di pasar dll. Sedangkan di dunia
bagian Selatan, limbah pangan terjadi karena keterbatasan (finansial,
manajerial, dan teknis) dalam proses panen, penyimpanan, infrastruktur,
pengemasan dan sistem pemasaran. Kesimpulannya, pertanian organik mungkin dapat
membantu menyediakan pangan bagi penduduk dunia pada tahun 2050. Asalkan juga
diikuti dengan adanya 1) sejumlah investasi besar untuk pengembangan metode
pertanian organik dan pertanian konvensional lainnya bagi petani di belahan
dunia bagian selatan guna meningkatkan produksi pangan dan membangun pasar dan 2)
adanya perubahan pola makan penduduk di belahan dunia bagian utara dengan
menurunkan konsumsi daging. Juga termasuk merubah sistem budidaya tanaman
pangan, merubah pola makan, merubah cara pemmberian pakan ternak, dan
meminimalkan makanan terbuang.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar