Berita Surat Kabar
Harian Kompas beberapa waktu yang lalu tentang kurangnya publikasi
internasional dari peneliti/dosen di Indonesia, bukan hal yang baru. Masalah
ini sebetulnya sudah cukup lama terjadi, hanya kurang mendapat perhatian dari
pemerintah. Sebetulnya, masih ada para peneliti atau dosen yang memiliki
publikasi internasional, khususnya mereka yang pandai menulis dan memiliki
bahan dasar yang layak diterbitkan di jurnal internasional. Begitu pula dengan
dosen atau peneliti yang studi pasca sarjana di luar negeri maupun dalam negeri,
umumnya artikel ilmiah primer mereka yang diambil dari tesis atau desertasi
sudah juga diterbitkan di jurnal internasional. Hal yang perlu diperhatikan
adalah peneliti dan dosen dalam negeri yang belum memiliki publikasi
internasional atau malah mereka kesulitan menerbitkan di jurnal internasional.
Hal mendasar yang
menjadi ganjalan para dosen dan peneliti untuk menyusun artikel yang akan
diterbitkan di jurnal internasional adalah kurang atau tidak ada bahan yang
layak untuk ditulis. Kondisi ini kemungkinan terjadi karena kurangnya anggaran riset
bagi dosen atau peneliti. Kemungkinan lain jumlah sdm peneliti dan dosen tidak
seimbang dengan besarnya anggaran riset, akibatnya para peneliti mengeroyok
suatu kegiatan riset yang menyebabkan masing-masing peneliti kesulitan untuk
memperoleh data hasil riset yang memenuhi standart jurnal ilmiah, terutama
jurnal internasional. Perihal masalah
lemahnya penguasaan bahasa inggris sehingga menyulitkan menulis artikel ilmiah
untuk jurnal internasional, bisa jadi merupakan faktor lain. Walaupun hal ini
bukan masalah utama. Alasan para peneliti atau dosen yang tidak banyak waktu
untuk menulis di jurnal internasional, mungkin terlalu mengada-ada. Apalagi
tunjangan fungsional ditambah tunjangan kinerja yang signifikan sudah mencukupi
untuk hidup cukup layak dibanding kondisi para peneliti/dosen 2-3 dekade yang
lalu.
Disamping itu, ada
faktor luar yang menyebabkan peneliti atau dosen enggan menerbitkan artikel ilmiahnya
di jurnal internasional. Faktor tersebut adalah jumlah kredit yang diperoleh
dari jurnal internasional dan jurnal dalam negeri relatif sama, padahal tingkat
kesulitannya jauh berbeda, khususnya kemampuan menulis dalam bahasa asing.
Faktor berikutnya, lembaga yang menilai fungsional para peneliti atau dosen ada
kemungkinan tidak mensyaratkan bahwa peneliti atau dosen dengan jenjang
kepangkatan tinggi maupun profesor/profesor riset harus memiliki satu publikasi
internasional. Permasalahan ini yang mungkin perlu ditinjau kembali oleh pihak
berwenang jika menginginkan para dosen dan peneliti indonesia bertebaran
nama-nama mereka di jurnal internasional yang beken dan terakreditasi.
Solusi lainnya adalah
membagi anggaran riset menjadi dua kelompok yaitu riset dasar dan riset terapan
dengan proporsi 30:70 atau 35:65. Dengan demikian para dosen dan peneliti di
kelompok riset dasar akat berkutat di laboratorium dan kebun percobaan untuk
mengembangkan kemajuan iptek, tanpa harus dibebani tugas tambahan dari kementerian.
Dalam hal ini para dosen dan peneliti hanya aktif mengajar dan meneliti untuk
menghasilkan “sesuatu yang baru” guna perkembangan iptek. Sedangkan kelompok riset terapan harus
diwajibkan menghasilkan inovasi baru yang sesuai dengan kondisi petani dan
kemungkinan dapat diberi tugas tambahan dari kementeriannya. Dalam hal ini, para peneliti terapan harus
ditagih hasilnya dalam bentuk tulisan dan “barang”, sehingga para dosen dan
peneliti akan lebih serius dalam melaksanakan tugasnya. Apalagi kalau harus diwajibkan
menulis artikel ilmiah untuk jurnal internasional.
Kesemuanya diatas
akan berhasil jika pemerintah dan dosen serta peneliti memiliki keinginan untuk
memperbanyak artikel ilmiahnya di jurnal internasional yang beken dan
terakreditasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar