Social Icons

Pages

Kamis, 24 September 2015

Publikasi Internasional



Berita Surat Kabar Harian Kompas beberapa waktu yang lalu tentang kurangnya publikasi internasional dari peneliti/dosen di Indonesia, bukan hal yang baru. Masalah ini sebetulnya sudah cukup lama terjadi, hanya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sebetulnya, masih ada para peneliti atau dosen yang memiliki publikasi internasional, khususnya mereka yang pandai menulis dan memiliki bahan dasar yang layak diterbitkan di jurnal internasional. Begitu pula dengan dosen atau peneliti yang studi pasca sarjana di luar negeri maupun dalam negeri, umumnya artikel ilmiah primer mereka yang diambil dari tesis atau desertasi sudah juga diterbitkan di jurnal internasional. Hal yang perlu diperhatikan adalah peneliti dan dosen dalam negeri yang belum memiliki publikasi internasional atau malah mereka kesulitan menerbitkan di jurnal internasional.

Hal mendasar yang menjadi ganjalan para dosen dan peneliti untuk menyusun artikel yang akan diterbitkan di jurnal internasional adalah kurang atau tidak ada bahan yang layak untuk ditulis. Kondisi ini kemungkinan terjadi karena kurangnya anggaran riset bagi dosen atau peneliti. Kemungkinan lain jumlah sdm peneliti dan dosen tidak seimbang dengan besarnya anggaran riset, akibatnya para peneliti mengeroyok suatu kegiatan riset yang menyebabkan masing-masing peneliti kesulitan untuk memperoleh data hasil riset yang memenuhi standart jurnal ilmiah, terutama jurnal internasional.  Perihal masalah lemahnya penguasaan bahasa inggris sehingga menyulitkan menulis artikel ilmiah untuk jurnal internasional, bisa jadi merupakan faktor lain. Walaupun hal ini bukan masalah utama. Alasan para peneliti atau dosen yang tidak banyak waktu untuk menulis di jurnal internasional, mungkin terlalu mengada-ada. Apalagi tunjangan fungsional ditambah tunjangan kinerja yang signifikan sudah mencukupi untuk hidup cukup layak dibanding kondisi para peneliti/dosen 2-3 dekade yang lalu.

Disamping itu, ada faktor luar yang menyebabkan peneliti atau dosen enggan menerbitkan artikel ilmiahnya di jurnal internasional. Faktor tersebut adalah jumlah kredit yang diperoleh dari jurnal internasional dan jurnal dalam negeri relatif sama, padahal tingkat kesulitannya jauh berbeda, khususnya kemampuan menulis dalam bahasa asing. Faktor berikutnya, lembaga yang menilai fungsional para peneliti atau dosen ada kemungkinan tidak mensyaratkan bahwa peneliti atau dosen dengan jenjang kepangkatan tinggi maupun profesor/profesor riset harus memiliki satu publikasi internasional. Permasalahan ini yang mungkin perlu ditinjau kembali oleh pihak berwenang jika menginginkan para dosen dan peneliti indonesia bertebaran nama-nama mereka di jurnal internasional yang beken dan terakreditasi.

Solusi lainnya adalah membagi anggaran riset menjadi dua kelompok yaitu riset dasar dan riset terapan dengan proporsi 30:70 atau 35:65. Dengan demikian para dosen dan peneliti di kelompok riset dasar akat berkutat di laboratorium dan kebun percobaan untuk mengembangkan kemajuan iptek, tanpa harus dibebani tugas tambahan dari kementerian. Dalam hal ini para dosen dan peneliti hanya aktif mengajar dan meneliti untuk menghasilkan “sesuatu yang baru” guna perkembangan iptek.  Sedangkan kelompok riset terapan harus diwajibkan menghasilkan inovasi baru yang sesuai dengan kondisi petani dan kemungkinan dapat diberi tugas tambahan dari kementeriannya.  Dalam hal ini, para peneliti terapan harus ditagih hasilnya dalam bentuk tulisan dan “barang”, sehingga para dosen dan peneliti akan lebih serius dalam melaksanakan tugasnya. Apalagi kalau harus diwajibkan menulis artikel ilmiah untuk jurnal internasional.

Kesemuanya diatas akan berhasil jika pemerintah dan dosen serta peneliti memiliki keinginan untuk memperbanyak artikel ilmiahnya di jurnal internasional yang beken dan terakreditasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates