Sebuah studi memperingatkan
bahwa erosi tanah global telah mencapai tingkat yang membahayakan terhadap kemampuan
manusia untuk menyediakan pangan mereka sendiri, jika tidak ada upaya yang
dilakukan untuk menurunkan masalah itu. Suatu review yang diterbitkan di
Science minggu lalu (7 Mei 2015), mengatakan bahwa tanah yang hilang lebih
cepat dari jumlah tanah yang secara alami terbentuk sendiri di sebagian besar dunia.
Selain itu, terjadi peningkatan tekanan pada lahan pertanian sebagai akibat penggunaan
lahan untuk non-pangan, seperti tanaman yang dikonversi menjadi biofuel dan
mungkin kedepan ada kekurangan batu fosfat yang digunakan untuk membuat pupuk.
Menurut Ronald Amundson, seorang ilmuwan
tanah di University of California, Berkeley, di Amerika Serikat, peningkatan
produksi pangan di wilayah negara-negara maju di dunia menunjukkan kondisi yang
melandai. Sehingga ada peluang untuk meningkatkan produksi pangan di
negara-negara berkembang, tetapi hal ini akan membutuhkaninvestasi besar
khususnya untuk pupuk agar dapat meningkatkan hasil panen mereka pada potensi
hasil yang mungkin dapat dicapai di wilayahnya. Fosfor yang dibutuhkan untuk
membuat pupuk merupakan hasil tambang. Saat ini, harga bahan baku ini terus
meningkat dan mendorong kekhawatiran tentang ketersediaan pupuk anorganik bagi
petani di negara berkembang.
Penulis makalah ini (Joe Turner) menyatakan bahwa
bukan hanya mengandalkan pupuk untuk meningkatkan hasil dari pertanian
konvensional, distribusi makanan yang lebih efisien dan daur ulang nutrisi yang
diperlukan untuk mengakhiri kelaparan – merupakan salah satu Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan yang diusulkan PBB. Erosi tanah disebabkan oleh penggunaan tanah
yang melebihi kapasitas tanah, penggundulan
hutan, desertifikasi (tanah menjadi padang gurun) dan limpasan air - yang
semuanya, sampai batas tertentu, disebabkan oleh usaha pertanian. Makalah ilmu
pengetahuan muncul sebagai akibat banyak ilmuwan khawatir bahwa target
perlindungan tanah dalam draft SDGs dapat dihapus dari daftar final dari tujuan
SDG. Sejak Januari, yang menandai dimulainya Tahun Tanah Internasional, para
ilmuwan telah didorong untuk menyerukan kepada pemerintah agar lebih besar perhatiannya
pada pengelolaan tanah.
Tim Benton, seorang ahli ekologi populasi di Leeds
University di Inggris, mengatakan manajemen tanah yang lebih baik akan menjaga
produksi cukup pangan di masa depan. Dia tidak berpikir bahwa kita cukup khawatir
tentang konservasi sumber daya tanah untuk jangka panjang. Dalam sistem
pertanian tradisional, produksi pangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan
berbagai teknik untuk mengurangi erosi tanah, kata Rattan Lal, ilmuwan tanah di
The Ohio State University di Amerika Serikat. Misalnya, petani dapat melestarikan
tanah mereka menggunakan sistem agroforestry dan dengan menutupi tanah di
lahannya dengan sisa tanaman.
Tapi itu merupakan keputusan besar untuk
beralih ke metode tersebut, karena metode ini lebih padat karya dan bisa kurang
efisien secara ekonomi, mengingat banyak petani yang menggunakan pertanian
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga untuk pangan, pakan ternak dan bahan
bangunan. Menurut Lal, sekitar 500 juta petani di seluruh dunia tergantung hidupnya
pada lahan pertanian kurang dari dua hektar. Jika pengelolaan tanah dimasukkan dalam
agenda global untuk mengatasi perubahan iklim dan kekurangan pangan, makan banyak
yang bisa dilakukan untuk membantu dua miliar penduduk dunia yang dalam kondisi
lapar tersembunyi, yang tidak cukup nutrisi dalam makanan mereka.
Sumber:
References
Ronald Amundson and others Soil
and human security in the 21st century(Science,
8 May 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar