Sektor pertanian dunia menghadapi
tantangan besar untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat akibat
bertambahnya populasi dunia, perubahan preferensi konsumen terhadap pangan
(terutama daging dan susu), dan meluasnya penggunaan biofuel dari tanaman
pangan. Beberapa studi dari para peneliti internasional telah mengusulkan
beberapa strategi untuk meningkatkan produksi pangan yang sekaligus menurunkan permintaan pangan dengan cara merubah pola
konsumsi dan pemanfaatan limbah (lihat artikel Pangan harus ditingkatkan dua kali lipat). Strategi untuk meningkatkan produksi
dunia yang telah banyak diketahui oleh para ahli pertanian dunia adalah 1)
memperluas lahan pertanian dunia pada kawasan hutan dan padang alang-alang dan
2) meningkatkan produktivitas tanaman dengan meningkatkan dosis pupuk, air
irigasi, alat pertanian sederhana, dan benih varietas unggul. Untuk Indonesia,
strategi pertama masih sangat memungkinkan karena tersedianya lahan rawa dan lahan pasang surut, lahan
kering, dan kawasan hutan, walaupun lahan tersebut memiliki kesuburan rendah
dan perlu upaya besar untuk meningkatkan kesuburan lahannya. Sedangkan strategi
kedua, petani Indonesia telah banyak yang mengenal varietas unggul baru dan
teknik budidaya yang baik. Hanya saja, petani masih sering mengalami masalah
terutama langkanya benih unggul berkualitas, tingginya harga pupuk dan
obat-obatan, serta tinggginya kehilangan hasil panen (Ray dan Foley, 2013).
Menurut para ahli pertanian, kedua strategi
tersebut walau pasti dapat meningkatkan produksi pangan dunia, tetapi masih
memiliki kelemahan terhadap kerusakan lingkungan. Perluasan lahan pertanian
akan memacu kehilangan keanekaragaman hayati dan meningkatkan emisi gas rumah
kaca. Sedangkan intensifikasi tanaman pangan, tanpa perbaikan teknik budidaya
yang ramah lingkungan, akan memacu meningkatnya penggunaan air irigasi,
degradasi lahan, pencemaran air sungai, penggunaan energi yang besar.
Namun, peningkatan produktivitas tanaman pangan dari beberapa lahan pertanian
dunia mengalami stagnan, akibatnya peningkatan produktivitas secara signifikan
dibawah harapan para ahli pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dunia dua
kali lipat. Berdasarkan kelemahan dari dua strategi tersebut, para ahli
pertanian dunia mencari strategi lain untuk melengkapi kedua strategi yang
telah ada. Strategi ketiga adalah meningkatkan frekuensi panen tanaman pangan
per satuan luas dan menghilangkan/meminimalkan
lahan “bero” serta mencegah kehilangan hasil panen akibat hama penyakit
maupun penanganan pasca panen. Strategi ini
di Indonesia dikenal dengan peningkatan Indeks Pertanaman, yaitu:
sebelumnya 1 x tanam/panen menjadi 2 x tanam/panen dan 2 x tanam/panen menjadi
3 x tanam/panen. Hasil studi kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa antara
tahun 1961 s/d 2007, strategi ketiga ini dapat memberikan kontribusi sebesar 9%
dari produksi tanaman pangan dunia. Diharapkan strategi ketiga pada tahun 2050
dapat memberikan kontribusi yang hampir sama besar dari kontribusi produksi
pangan yang berasal dari perluasan lahan pertanian. Hal ini didukung data bahwa
jumlah total areal panen meningkat 4 kali lebih cepat dari jumlah total lahan
tanaman pangan antara tahun 2000-2011.
Namun untuk menerapkan strategi ketiga ini
perlu memperhatikan kemungkinan adanya penurunan kesuburan tanah, pencemaran
air irigasi dan lahan. Meningkatnya frekuensi panen dapat memberikan keuntungan
jangka pendek yaitu meningkatkan produksi tanaman, tetapi dalam jangka panjang
mungkin merusak lingkungan. Hal ini tergantung pada kondisi lingkungan lokal
dan cara budidaya petani serta kondisi sosial masyarakat. Hasil studi ini juga
menunjukkan bahwa petani di dunia sudah memanfaatkan cara meningkatkan
frekuensi panen, yaitu dengan menanam tanaman palawija seperti jagung yang
selanjutnya diikuti kedelai.
Catatan:
Makalah lengkap dapat diunduh di http://iopscience.iop.org/1748-9326/8/4/044041/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar