Social Icons

Pages

Selasa, 27 Januari 2015

Produktivitas Serealia Dunia Mengkawatirkan?



Informasi dari Peneliti Universitas Nebraska-Lincoln (UNL) yang dimuat NatureCommunication, Dec. 17, 2013, menyatakan bahwa sekitar 30 persen dari tanaman sereal dunia yaitu  padi, gandum dan jagung, kemungkinan telah mencapai hasil maksimal di lahan petani. Temuan ini meningkatkan kekawatiran terhadap upaya peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan populasi penduduk dunia yang terus bertambah. Hasil panen ketiga komoditas tersebut mengalami penurunan atau stagnan. Padahal proyeksi produksi pangan di dunia yang akan menjamin keamanan pangan dunia didasarkan pada peningkatan hasil per satuan luas yang konstan. Dalam arti diharapkan produktivitas terus dapat ditingkatkan dengan asumsi lambatnya kenaikan luas lahan. Tren ini menjadi tidak mungkin jika dikaitkan dengan temuan para peneliti diatas. Estimasi produksi pangan dunia di masa akan datang untuk memenuhi kebutuhan penduduk 9 milyar orang tahun 2050, sebagian besar didasarkan pada proyeksi tren produktivitas. Trend ini didominasi oleh adopsi teknologi baru yang cepat berkembang luas di lahan petani, yang memungkinkan adanya peningkatan produksi pangan.

Akibatnya, proyeksi produksi kedepan tersebut terlalu optimis dan mungkin terlalu besar. Hal ini ditunjukkan dari hasil studi ilmuwan UNL yaitu Kenneth Cassman, Patricio Grassini, dan Kent Eskridge yang memberikan bukti berlawanan dengan skenario proyeksi hasil tanaman yang meningkat secara linier. Data mereka menunjukkan bahwa tingkat produktivitas saat ini menurun atau stagnan pada satu atau lebih dari beberapa tanaman sereal utama di Asia Timur, Eropa dan Amerika Serikat. Peneliti dari The Institute of Agriculture and Natural Resources menghitung bahwa penurunan produktivitas akan mempengaruhi 33 persen dari negara-negara penghasil beras utama dan 27 persen dari negara-negara penghasil gandum utama. Di Cina, misalnya, peningkatan produktivitas gandum tetap konstan, dan laju peningkatan produktivitas jagung mengalami penurunan sebesar 64 persen relatif untuk periode 2010-2011 terhadap tahun 2002-2003, walaupun investasi riset pertanian dan pengembangan, pendidikan serta infrastruktur pada kedua komoditas tersebut meningkat besar. Artinya investasi meningkat, tetapi dampak terhadap produktivitas tetap menurun. 

Bagaimana dengan Indonesia?. Kondisi diatas sangat mengkawatirkan untuk mencapai swasembada beras dan jagung, jika kita ingin memenuhi kebutuhan penduduk hampir 250 juta jiwa dan tentunya akan bertambah besar tahun 2050. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti dan para pemangku kepentingan  di bidang pertanian dan sektor lain yang terkait dengan pangan. Untuk mencapai tahun 2050, masih ada waktu 35 tahun yang sangat berarti untuk terus menghasilkan inovasi baru yang lebih “sound” dibanding yang telah ada saat ini. Atau mungkin perlu diintegrasikan dengan riset bioteknologi, walaupun sampai saat ini belum ada hasil riset bioteknologi di Indonesia yang signifikan memberikan kontribusinya terhadap peningkatan produksi padi. Untuk jagung, sepertinya kita tetap bergantung pada produk jagung hibrida multi-nasional. Kondisi  ini cukup menyakitkan, karena produk jagung hibrida dalam negeri tidak banyak dikenal petani.  Tentunya tidak perlu pesimis, jika kita mau berusaha keras. Apalagi potensi lahan untuk sektor pertanian, khususnya pangan, masih sangat luas. Inovasi baru tanaman pangan harus terus ditemukan yang diintegrasikan dengan pengelolaan lahan dan alat pertanian sederhana, serta pandai-pandai menyikapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Tak lupa pembinaan petani kecil yang berlahan sempit perlu didukung dengan kemudahan-kemudahan untuk berusahatani.

Sumber: 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates