Informasi dari Peneliti Universitas
Nebraska-Lincoln (UNL) yang dimuat NatureCommunication, Dec. 17, 2013, menyatakan bahwa sekitar 30 persen dari
tanaman sereal dunia yaitu padi, gandum
dan jagung, kemungkinan telah mencapai hasil maksimal di lahan petani. Temuan
ini meningkatkan kekawatiran terhadap upaya peningkatan produksi pangan untuk
memenuhi kebutuhan populasi penduduk dunia yang terus bertambah. Hasil panen
ketiga komoditas tersebut mengalami penurunan atau stagnan. Padahal proyeksi
produksi pangan di dunia yang akan menjamin keamanan pangan dunia didasarkan pada
peningkatan hasil per satuan luas yang konstan. Dalam arti diharapkan
produktivitas terus dapat ditingkatkan dengan asumsi lambatnya kenaikan luas
lahan. Tren ini menjadi tidak mungkin jika dikaitkan dengan temuan para
peneliti diatas. Estimasi produksi pangan dunia di masa akan datang untuk memenuhi
kebutuhan penduduk 9 milyar orang tahun 2050, sebagian besar didasarkan pada
proyeksi tren produktivitas. Trend ini didominasi oleh adopsi teknologi baru
yang cepat berkembang luas di lahan petani, yang memungkinkan adanya peningkatan
produksi pangan.
Akibatnya, proyeksi produksi kedepan tersebut
terlalu optimis dan mungkin terlalu besar. Hal ini ditunjukkan dari hasil studi
ilmuwan UNL
yaitu Kenneth Cassman, Patricio Grassini, dan Kent Eskridge yang memberikan
bukti berlawanan dengan skenario proyeksi hasil tanaman yang meningkat secara linier.
Data mereka menunjukkan bahwa tingkat produktivitas saat ini menurun atau stagnan
pada satu atau lebih dari beberapa tanaman sereal utama di Asia Timur, Eropa
dan Amerika Serikat. Peneliti dari The Institute of Agriculture and Natural
Resources menghitung bahwa penurunan produktivitas akan mempengaruhi 33 persen
dari negara-negara penghasil beras utama dan 27 persen dari negara-negara
penghasil gandum utama. Di Cina, misalnya, peningkatan produktivitas gandum
tetap konstan, dan laju peningkatan produktivitas jagung mengalami penurunan
sebesar 64 persen relatif untuk periode 2010-2011 terhadap tahun 2002-2003, walaupun
investasi riset pertanian dan pengembangan, pendidikan serta infrastruktur pada
kedua komoditas tersebut meningkat besar. Artinya investasi meningkat, tetapi
dampak terhadap produktivitas tetap menurun.
Bagaimana dengan Indonesia?. Kondisi diatas sangat mengkawatirkan untuk mencapai swasembada beras dan jagung, jika kita ingin memenuhi kebutuhan penduduk hampir 250 juta jiwa dan tentunya akan bertambah besar tahun 2050. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti dan para pemangku kepentingan di bidang pertanian dan sektor lain yang terkait dengan pangan. Untuk mencapai tahun 2050, masih ada waktu 35 tahun yang sangat berarti untuk terus menghasilkan inovasi baru yang lebih “sound” dibanding yang telah ada saat ini. Atau mungkin perlu diintegrasikan dengan riset bioteknologi, walaupun sampai saat ini belum ada hasil riset bioteknologi di Indonesia yang signifikan memberikan kontribusinya terhadap peningkatan produksi padi. Untuk jagung, sepertinya kita tetap bergantung pada produk jagung hibrida multi-nasional. Kondisi ini cukup menyakitkan, karena produk jagung hibrida dalam negeri tidak banyak dikenal petani. Tentunya tidak perlu pesimis, jika kita mau berusaha keras. Apalagi potensi lahan untuk sektor pertanian, khususnya pangan, masih sangat luas. Inovasi baru tanaman pangan harus terus ditemukan yang diintegrasikan dengan pengelolaan lahan dan alat pertanian sederhana, serta pandai-pandai menyikapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Tak lupa pembinaan petani kecil yang berlahan sempit perlu didukung dengan kemudahan-kemudahan untuk berusahatani.
Bagaimana dengan Indonesia?. Kondisi diatas sangat mengkawatirkan untuk mencapai swasembada beras dan jagung, jika kita ingin memenuhi kebutuhan penduduk hampir 250 juta jiwa dan tentunya akan bertambah besar tahun 2050. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti dan para pemangku kepentingan di bidang pertanian dan sektor lain yang terkait dengan pangan. Untuk mencapai tahun 2050, masih ada waktu 35 tahun yang sangat berarti untuk terus menghasilkan inovasi baru yang lebih “sound” dibanding yang telah ada saat ini. Atau mungkin perlu diintegrasikan dengan riset bioteknologi, walaupun sampai saat ini belum ada hasil riset bioteknologi di Indonesia yang signifikan memberikan kontribusinya terhadap peningkatan produksi padi. Untuk jagung, sepertinya kita tetap bergantung pada produk jagung hibrida multi-nasional. Kondisi ini cukup menyakitkan, karena produk jagung hibrida dalam negeri tidak banyak dikenal petani. Tentunya tidak perlu pesimis, jika kita mau berusaha keras. Apalagi potensi lahan untuk sektor pertanian, khususnya pangan, masih sangat luas. Inovasi baru tanaman pangan harus terus ditemukan yang diintegrasikan dengan pengelolaan lahan dan alat pertanian sederhana, serta pandai-pandai menyikapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Tak lupa pembinaan petani kecil yang berlahan sempit perlu didukung dengan kemudahan-kemudahan untuk berusahatani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar