Social Icons

Pages

Selasa, 17 Maret 2015

Sistem Pangan Kedepan Harus Berubah



Dunia akan menghadapi tantangan besar untuk menyediakan pangan bagi sembilan milyar penduduk tahun 2050, yaitu memastikan setiap orang di bumi ini memiliki akses dan ke pangan yang bergizi tanpa merusak sumberdaya alam dalam proses produksi pangan.  Hal ini mudah untuk bahan diskusi tetapi sulit untuk dilaksanakan. Sistem pangan dunia saat ini mengalami disfungsional baik dampak terhadap manusianya maupun terhadap planet bumi. Jika kita tidak merubahnya maka kita akan gagal untuk menghadapi tantangan tersebut. Kemiskinan, perubahan iklim, konflik dan krisis kemanusiaan menambah tantangan besar dan beban terhadap sistem pangan saat ini. Tren global seperti urbanisasi menambah masalah tentang kondisi pangan saat ini. PBB memperkirakan bahwa dua pertiga dari penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050. Sedangkan kota sendiri merupakan pusat utama produksi dan konsumsi nasional, adanya proses sosial dan ekonomi yang memberikan kekayaan dan peluang, tetapi juga memberi dampak negatif yaitu penyakit, kejahatan, polusi, dan kemiskinan. Sistem pangan perkotaan di banyak negara, tidak berkembang pesat untuk mengatasi tantangan pertumbuhan populasi yang cepat.
  
Terdapat kaitan yang erat antara menyediakan makan penduduk dunia dan melestarikan planet bumi. Saat ini kita gagal untuk melakukan salah satu diatas. Dunia telah memproduksi cukup pangan bagi semua orang, tetapi masih ada 805 juta penduduk yang menderita kelaparan dan sekitar 2 milyar lagi menderita kekurangan nutrisi penting untuk hidup sehat, disisi lain ada 1,4 milyar penduduk yang kelebihan berat badan dan obesitas. Sedangkan cara dunia memproduksi pangan menimbulkan kerusakan planet bumi, karena sistem pertanian yang tidak efisien tersebut telah menyumbang hampir seperempat dari emisi gas rumah kaca dunia. Krisis yang terjadi saat ini akan menjadi bencana lebih besar pada masa akan datang karena adanya dampak perubahan iklim. Selain dampaknya terhadap produksi pangan, perubahan iklim juga memberi dampak negatif terhadap nutrisi pada tanaman pangan utama. Suatu studi para peneliti Harvard Schoolof Public Health menunjukkan bahwa kenaikan kadar CO2 dapat menurunkan nutrisi penting (zat seng dan besi) dan vitamin pada tanaman gandum, beras dan kedelai. Hal ini sangat mengkawatirkan karena ketiga tanaman tersebut merupakan sumber pangan penting dunia, khususnya di negara berkembang.

Para peneliti Harvard menganalisis data yang melibatkan 41 varietas tanaman serealia dan kacang-kacangan dari kelompok tanaman C3 dan C4 dari tujuh lokasi yang berbeda di Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Lokasi penelitian menggunakan teknologi karbon dioksida udara bebas yang diperkaya. Tingkat CO2 di seluruh tujuh lokasi berada di kisaran 546-586 ppm. Peneliti tersebut menguji konsentrasi gizi pada bagian yang dapat dimakan pada gandum dan beras (kelompok C3), jagung dan sorgum (kelompok C4) dan kedelai serta kacang polong (C3 kacang-kacangan). Hasil penelitian menunjukkan, adanya penurunan yang signifikan dalam konsentrasi seng, besi, dan protein dalam biji tanaman kelompok C3. Kandungan  seng, besi dan protein dalam biji gandum tumbuh di lokasi penelitian, masing-masing berkurang 9,3%, 5,1%, dan 6,3%, dibandingkan dengan gandum yang ditanam di lingkungan CO2 normal. Seng dan besi juga berkurang secara signifikan dalam kacang-kacangan tetapi protein tidak menurun. Temuan bahwa tanaman serealia dan kacang-kacangan kelompok C3, kehilangan zat besi dan seng di CO2 tinggi adalah signifikan. Sedangkan pada varietas tanaman padi yang diuji, menunjukkan kandungan seng dan besi bervariasi secara subtansial. Hal ini merupakan peluang bagi pemulia padi dengan menurunkan sensitivitas terhadap CO2 tinggi pada calon varietas unggul yang akan datang. Sementara itu, tanaman C4 tampaknya kurang dipengaruhi oleh CO2 yang lebih tinggi. Para peneliti Harvard tersebut memperkirakan bahwa 2-3 milyar orang di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang,  mendapatkan 70% atau lebih unsur seng dan besi dari tanaman C3. Jika masalah tersebut tidak segera diatasi dengan pemuliaan tanaman, fortifikasi, dan pemberian suplemen gizi, maka kekurangan zat besi dan seng dari pangan pokok yang dikonsumsi penduduk akan mengakibatkan masalah kesehatan utama.

Walaupun demikian, ada keberhasilandunia untuk menanggulangi kemiskinan dan kekurangan gizi yang diderita penduduk dunia. Keberhasilan tersebut dinyatakan oleh GAIN (The Global Alliance for Improved Nutrition) dan dirayakan bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia 2014, yaitu 1) Banyak anak-anak yang mengalami penddidikan dibanding dekade sebelumnya, 2) Telah mendekati kesenjangan gender, yang berarti adanya cukup nutrisi bagi wanita di dunia, 3) Kematian anak balita dunia mencapai tingkat terendah sepanjang sejarah, 4) Adanya mobilisasi teknologi (teknologi ponsel) untuk membantu mengatasi kekurangan nutrisi penduduk, 5) Telah meningkat akses penduduk ke vitamin dan mineral untuk hidup sehat.

Sistem pangan dunia hanya dapat diperbaiki dengan upaya kolektif dunia yang difokuskan kepada adanya bukti keberhasilan program dan kegiatan serta menggerakkan  kemitraan baru yang dapat menarik investasi publik dan swasta guna mencari solusi ini. Untuk mendukung hal ini diperlukan struktur yang jelas, pengaturan kerja yang transparan, dan data yang kuat serta mekanisme akuntabel untuk mendukung aksi para pemangku kepentingan. Selain itu, diperlukan juga kerangka kerja untuk berbagi pengetahuan di antara negara-negara yang membuat kemajuan pada kecukupan gizi bagi masyarakat yang tertinggal. Dunia perlu lebih ambisius, banyak inovasi dan kepemimpinan kuat untuk menyediakan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kita perlu mendukung petani untuk memproduksi, menjual, dan mengkonsumsi pangan yang bergizi. Hal ini berarti mengkonversi tanah terdegradasi menjadi tanah yang produktif, menfortikasi bahan pangan (beras) dengan nutrisi seng dan besi, serta mulai mengembangkan sumber pangan alternatif.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates