Social Icons

Pages

Senin, 02 Oktober 2017

Fakta penting tentang kehilangan pangan dan limbah makanan



Setiap tahun sekitar sepertiga dari jumlah pangan yang diproduksi di dunia dan digunakan untuk konsumsi manusia atau 1,3 miliar ton telah terbuang secara sia-sia. Kerugian hilangnya pangan dan terbuangnya limbah makanan mencapai sekitar US $ 680 miliar yang terjadi di negara-negara industri dan sekitar US $ 310 miliar yang terjadi di negara-negara berkembang. Negara-negara industri dan negara berkembang membuang kira-kira jumlah makanan yang sama yaitu masing-masing 670 dan 630 juta ton. Buah dan sayuran, ditambah umbi-umbian memiliki tingkat pembuangan makanan paling tinggi karena mudahnya mengalami kebusukan. Secara kuantitatif, kehilangan pangan dan limbah makanan di dunia setiap tahunnya mencapai  sekitar 30% untuk serealia, 40-50% untuk tanaman akar, buah dan sayuran, 20% untuk benih minyak, daging dan susu ditambah 35% untuk ikan.

Setiap tahun, konsumen di negara-negara kaya menghabiskan 222 juta ton makanan yang hampir sama dengan seluruhan produksi pangan dari wilayah sub-Sahara Afrika (230 juta ton). Jumlah pangan yang hilang atau terbuang setiap tahun setara dengan lebih dari separuh produksi tanaman serealia tahunan di dunia (2,3 miliar ton pada 2009/2010). Makanan yang terbuang per kapita oleh konsumen sekitar 95-115 kg per tahun di Eropa dan Amerika Utara, sementara itu konsumen di sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, masing-masing membuang hanya 6-11 kg per tahun. Total produksi pangan per kapita untuk konsumsi manusia adalah sekitar 900 kg per tahun di negara-negara kaya dan hampir dua kali lipat dibanding konsumsi per kapita di negara-negara miskin yaitu 460 kg per tahun.

Jumat, 01 September 2017

Bahasa merupakan penghalang untuk menyebarkan sains



Sebuah riset menyatakan bahwa bahasa masih merupakan penghalang utama untuk transfer sains meskipun bahasa Inggris semakin banyak digunakan sebagai bahasa sains global. Riset yang dipublikasikan di jurnal PLOS Biology ini menyoroti masalah praktis yang diperjuangkan para ilmuwan di banyak belahan dunia, termasuk Afrika francophone. Penulisnya melihat lebih dekat dokumen ilmiah tentang konservasi keanekaragaman hayati yang diterbitkan pada tahun 2014. Sejumlah 75.000 dokumen ditulis dalam 16 bahasa yang berbeda. Sekitar sepuluh dokumen, kira-kira enam dokumen ditulis dalam bahasa Inggris dan tiga bahasa lainnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa bahasa Inggris tetap menjadi bahasa utama dalam komunitas ilmiah. Tapi hasil risetnya juga menunjukkan fakta bahwa banyak riset masih dilakukan dalam bahasa lain selain bahasa Inggris sehingga hasil riset yang dipublikasikan dengan bahasa lain sedikit terbaca para peneliti atau ilmuwan lainnya. Hal ini terutama terdapat di universitas dan lembaga riset di beberapa negara Afrika yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mereka. Menurut Tatsuya Amano, peneliti utama pada studi tersebut menyatakan bahwa dirinya telah lama tertarik untuk mengetahui bagaimana hambatan bahasa dapat mempengaruhi sains secara umum, namun sejauh ini masalah tersebut jarang ditangani oleh komunitas ilmiah.

Kamis, 03 Agustus 2017

Petani kedelai di Afrika Timur dan Selatan mendapat dukungan.



Para petani kecil di Afrika timur dan selatan dapat mengambil manfaat dari sebuah proyek tentang inovasi untuk membantu membuka hambatan dalam rantai nilai kedelai regional. Food Trade East dan Southern Africa (FoodTrade ESA) yang didanai Inggris telah memperoleh dana bantuan sekitar 1,2 juta dolar AS kepada Classic Foods Limited di Kenya dan Seba Foods Limited di Zambia untuk membantu para petani kedelai di dua negara itu untuk meningkatkan hasil panen, mengakses solusi penyimpanan tepat guna dan pasar yang sesuai untuk produk mereka. Isaac Tallam, pakar sistem pasar Food Trade ESA, mengatakan bahwa permintaan kedelai di Afrika meningkat karena pertumbuhan industri pakan ternak dan konsumsi rumah tangga. Selain menjadi sumber minyak, kedelai digunakan dalam proses industri lainnya, dengan banyak manfaat bagi berbagai aktor di sepanjang keseluruhan rantai nilai, kata Tallam kepada SciDev.Net. Beberapa tantangan yang harus dihadapi proyek adalah kurangnya benih bersertifikat dan kurangnya pasar yang siap.

Selasa, 04 Juli 2017

Sains masyarakat perlu diperluas



Ilmuwan masyarakat atau anggota masyarakat yang secara sukarela terlibat dalam karya ilmiah, telah banyak berkontribusi dalam ilmu lingkungan, namun mereka masih memiliki potensi untuk melakukan lebih banyak lagi guna membantu mengkaji keanekaragaman hayati regional dan global. Menurut Mark Chandler, penulis utama studi dan direktur riset di non-profit Earthwatch Institute, dirinya telah melihat berbagai peserta yang mampu memberikan kontribusi yang sangat penting, termasuk kelompok-kelompok mahasiswa dan anggota masyarakat setempat. Mark juga mengidentifikasi beberapa jalur kunci untuk meminta para ilmuwan masyarakat untuk mengumpulkan data. Misalnya, lembaga riset mungkin dapat bekerja dengan masyarakat lokal untuk membantu memantau keanekaragaman hayati pada habitat dan spesies dimana  relawan peduli terhadap hutan, spesies yang mereka buru untuk sumber makanan, alasan ekonomi atau budaya, umumnya penduduk setempat sering memiliki pengetahuan yang baik tentang keragaman hayati di mana mereka tinggal. Aplikasi global, seperti iNaturalist atau eBird untuk kelompok perkotaan, maka para manajer taman dan wisatawan dapat diminta untuk membantu membuat serangkaian foto dan catatan serta spesies di lokasi tertentu.

Senin, 08 Mei 2017

Menemukan dampak nyata dari dukungan inovasi pertanian



Evaluasi dampak dalam pembangunan pertanian merupakan topik panas. Dan begitu pula perdebatan tentang metodologi. Sebagian besar lembaga donor yang menghasilkan studi terhadap dampak dari pembangunan pertanian tertarik untuk melaporkan kontribusi mereka untuk memenuhi Millenium Development Goals, dengan tujuan utama peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Sebagai tanggapan, desain riset yang canggih dan analisis ekonometrik (pengujian empiris dari model ekonomi) telah dikembangkan untuk mengisolasi efek bersih dari intervensi pembangunan dan mengukur perubahan pendapatan rumah tangga. Analisis ini mengasumsikan adanya korelasi antara kegiatan proyek, atau variabel perlakuan, dan pendapatan sebagai variabel hasil. Namun seringkali, ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang menghubungkan perubahan intervensi tertentu menjadi tidak mungkin. Bahkan dengan intervensi yang relatif sederhana seperti penyuluhan pertanian (di mana temuan riset dipromosikan untuk meningkatkan praktik pertanian) atau hibah kecil untuk mendukung percobaan, hal itu menyulitkan untuk mengukur dampaknya pada laba bersih.

Jumat, 07 April 2017

Pendekatan yang salah untuk dampak riset




Berkembangnya wabah demam Rift Valley di Uganda memegang pelajaran penting bagi pemikiran saat ini tentang investasi dalam riset untuk pembangunan global. Apa yang terjadi di Uganda cukup familiar - pelajaran yang sama telah muncul sebelumnya (wabah penyakit Ebola di Afrika Barat tahun 2013). Langkah-langkah pengendalian epidemiologi yang dirancang untuk membatasi penyebaran penyakit tidak sepenuhnya mempertimbangkan kenyataan yang diderita masyarakat yang terkena dampak. Dalam hal ini, apa yang dapat dimakan atau diusahakan di lahan pertniannya oleh masyarakat miskin pedesaan, jika susu dan daging dilarang penjualannya? Juga saluran komunikasi resmi yang digunakan untuk mengingatkan dampak ancaman kesehatan masyarakat tidak berasal dari tokoh masayarakat yang terpercaya. Dalam diskusi tentang sains untuk pembangunan, sering disebut atau dinyatakan agar riset yang dilaksanakan harus memiliki dampak terhadap masyarakat, jelas nampak nilau suatu riset. Jadi mengapa kesalahan ini terus terjadi? Pertanyaan yang sangat mendesak bukan hanya karena mata pencaharian dan nyawa kehidupan masyarakat dipertaruhkan, tetapi juga karena munculnya tren dalam pendanaan riset yang cenderung meningkatkan frekuensi kesalahan tersebut. Ironisnya, tumbuhnya kepedulian lembaga pembangunan dengan dampak riset juga ikut menghambat untuk mempelajari apa yang telah berhasil.

Kamis, 09 Maret 2017

Asia Pasific diberi label hot spot untuk keamanan air



Ekonomi di kawasan Asia-Pasifik tidak dapat mempertahankan pertumbuhan yang dinamis saat ini, kecuali perihal air ikut dipertimbangkan, karena kawasan ini sedang menghadapi "krisis" dalam mengamankan dan mengelola sumber daya utama tersebut. Sebuah laporan yang komprehensif tentang pembangunan air di Asia-Pasifik baru saja dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) yang menyatakan bahwa saat ini ada kondisi "global hot spot untuk ketidakamanan air". Sekitar 3,4 miliar orang tinggal di daerah yang mengalami kelangkaan air di Asia pada tahun 2050, kata laporan tersebut, yang dikutip datanya dari studi yang dilakukan oleh Institute yang berbasis di Austria (IIASA = Austria-based International Institute for Applied Systems Analysis). Beberapa negara di wilayah ini - Afghanistan, Cina, India, Pakistan dan Singapura - diproyeksikan memiliki ketersediaan air per kapita terendah pada tahun 2050. Meningkatnya permintaan dari penggunaaan air, kata presiden ADB Takehiko Nakao, sumber daya air yang terbatas akan mengalami situasi yang lebih berbahaya.

Saya percaya tantangan paling menakutkan adalah untuk melipatgandakan produksi pangan tahun 2050 guna memenuhi kebutuhan pangan bagi populasi yang semakin berkembang dan makmur, sementara itu juga diperlukan penyediaan air untuk pengguna domestik yang lebih banyak dan untuk memenuhi kebutuhan industri dan energi," kata Nakao dalam mengawali laporan ADB. Dampak dari perubahan iklim, meningkatnya variabilitas iklim dan bencana yang berhubungan dengan air akan berujung pada cakrawala yang lebih menantang daripada yang kita alami di masa lalu.
 
Blogger Templates