Swasembada pangan selalu menjadi program unggulan pemerintah di berbagai negara di dunia, khususnya Indonesia. Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi momok bagi negara berkembang yang pembangunan pertaniannya belum semaju negara-negara pengekspor pangan. Swasembada pangan yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi menjadi prioritas bagi setiap pemerintahan baru di Indonesia. Namun demikian, implementasi program ini masih terganjal dengan adanya otonomi daerah. Jaman dulu komando swasembada pangan mulai dari Presiden sampai Lurah/Kepala Desa dan petani dapat berjalan lancar tanpa ada yang berani menolak atau membelokan. Tetapi dengan adanya otonomi daerah, upaya swasembada pangan sering terhambat karena kurangnya alokasi dana di daerah. Untungnya pemerintah pusat masih mengalokasikan dana swasembada pangan yang digulirkan ke daerah. Untuk komoditas padi dan jagung, tidak sulit mencapainya, asalkan dikeroyok bersama antara pemerintah pusat, daerah dan petani. Sedangkan komoditas kedelai, sepertinya masih perlu kerja keras lagi beberapa tahun mendatang.
Permasalahan yang cukup menghambat pencapaian swasembada pangan, diantaranya adalah faktor koordinasi antar institusi atau kementerian, faktor budidaya tanaman, dan sdm petani. Koordinasi antar kementerian sering terhambat karena ego sektoral. Masalah koordinasi ini yang harusnya segera dibenahi oleh pemerintah saat ini. Sebagai contoh, kawasan hutan yang tegakan tanamannya masih berumur kurang dari 2-5 tahun, sangat memungkinkan untuk dimanfatkan sebagai lahan tanaman pangan (padi gogo, kedelai, dan jagung). Akan tetapi potensi yang cukup besar tersebut kenyataan di lapang cukup sulit dimanfaatkan. Berbagai alasan mengemuka seperti tidak ada dana, petani hutan atau sekitar tidak terampil menanam tanaman pangan, produk yang dihasilkan tidak ada yang membeli (jika ada harganya murah - para tengkulak), aparat pertanian harus mencari sendiri lahan kawasan hutan tanpa dibantu oleh aparat kehutanan, dan faktor sosial serta teknis yang lainnya. Disisi lain, pemanfaatan inovasi baru di bidang pertanian sering terhambat dalam proses penyebarannya kepada petani, khususnya petani marjinal yang berada di pelosok pedesaan di seluruh penjuru tanah air. Akibatnya budidaya tanaman pangan di lahan marjinal sulit ditingkatkan produktivitasnya. Walaupun telah banyak inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti, hanya petani yang aksesnya mudah dicapai yang telah mengenal inovasi tersebut. Sedangkan petani marjinal yang produktivitas lahannya perlu ditingkatkan masih banyak yang belum mengenal inovasi baru. Seandainya mereka sudah kenal inovasi baru dari berbagai sumber informasi, mereka masih belum mau mencoba jika tidak ada contoh tanaman di sekitar lahan mereka.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya berkerja keras secara bersama dengan pemda dan para peneliti serta penyuluh melakukan demo area besar-besaran di lahan-lahan marjinal yang masih tersedia cukup luas di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan lahan sawah produktif yang merupakan sentra produksi pangan seperti padi dan jagung cukup dibina agar produktivitasnya tetap tinggi dan disiapkan saprodinya secara memadai. Khusus di lahan marjinal potensi peningkatan produktivitas petani masih memungkinkan, asalkan petani dibimbing dengan serius dan diberi contoh cara budidaya tanaman pangan yang tepat, dengan inovasi teknologi baru seperti varietas unggul, pengelolaan hama terpadu, pemupukan yang tepat dan efisien serta pengelolaan pasca panen.
Saat ini, para peneliti Indonesia telah menghasilkan sejumlah varietas unggul tanaman pangan, khususnya padi, jagung dan kedelai. Untuk padi telah dihasilkan varietas unggul dengan sifat spesifik dan varietas hibrida, sedangkan jagung telah dihasilkan berbagai varietas unggul yang adaptif pada lahan kering masam dan beriklim kering, lahan sawah suboptimal, varietas unggul jagung hibrida, dan varietas unggul jagung khusus (jagung pulut, jagung manis dan jagung kaya protein), serta varietas kedelai yang adaptif pada lahan kering dan lahan sawah suboptimal. Sementara itu, para peneliti di Indonesia juga telah menghasilkan beberapa pupuk hayati (biofertilizers) yang mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Pupuk hayati merupakan produk biologi aktif terdiri dari mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah. Oleh karena itu, pupuk ini mempunyai potensi cukup besar untuk mengurangi biaya usahatani khususnya biaya pembelian pupuk anorganik (NPK). Jika varietas unggul yang spesifik dan sesuai dengan preferensi petani setempat dikombinasikan dengan pupuk hayati, serta teknik budidaya tanaman yang tepat, kemungkinan peningkatan produktivitas di lahan marjinal akan dapat dicapai sesuai harapan pemerintah.
Satu masalah lagi yang menghambat pencapaian swasembada pangan adalah SDM petani. Generasi muda petani sudah banyak yang migrasi ke kota atau keluar Indonesia untuk mencari pendapatan yang lebih baik jika hanya bertani di desanya, apalagi kalau orang tuanya hanya sebagai petani penggarap bukan pemilik lahan. Sedangkan petani yang sudah usia lanjut yang masih bertahan mengelola lahannya. Untuk itu, peran penyuluh lapangan perlu ditingkatkan seperti era berjayanya para penyuluh di masa lalu. Selain dukungan dana agar dapat menjangkau para petani, penyuluh juga perlu ditambah jumlahnya dengan penyuluh generasi baru yang polyvalen (yang memiliki pengetahuan pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan dan sosial budaya). Para penyuluh generasi baru yang multi pengetahuan merupakan tumpuan pemerintah untuk membantu menyebarkan inovasi baru dibidang pertanian serta membimbing petani untuk membudidayakan tanaman, ternak, dan ikannya melalui demo-area skala luas di setiap desa. Adanya alokasi anggaran untuk tiap desa sekitar Rp 1 milyar lebih, ada baiknya pemerintah mengalokasikan sebagian dana tersebut untuk membangun demo area tersebut diatas.
Apabila beberapa alternatif upaya diatas dapat diimplementasikan di lapang, swasembada pangan di Indonesia tidak mustahil dapat dicapai. Tentunnya pencapaian ini tidak mudah implementasi di lapang, semua tergantung integritas dan komitmen para pelaku pembangunan pertanian, mulai dari pemerintah pusat (inter kementerian), SKPD di daerah, peneliti, penyuluh dan juga petani serta swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar