Social Icons

Pages

Jumat, 12 Desember 2014

Masihkah Riset Tanaman Pangan Diperlukan?





silang padi konvensional untuk merakit varietas unggul baru
Pertanyaan diatas perlu dijawab dengan argumen mungkin ya dan mungkin tidak. Tergantung sudut pandang kita masing-masing dalam menyikapi hal tersebut. Untuk riset di bidang tanaman pangan, kita masih memerlukan penelitian dasar guna menghadapi kondisi saat ini dan yang akan datang, seperti perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, persaingan perdagangan komoditas dengan negara lain, upaya peningkatan kesejahteraan petani dan sekaligus upaya pencapaian swasembada pangan. Sedangkan untuk riset terapan di bidang tanaman pangan, ada baiknya kita berfikir kembali. Untuk riset terapan yang bersifat pengujian, jawabannya “yes” kita harus terus melakukan. Sedangkan untuk riset terapan yang lainnya, ada baiknya dihentikan sementara selama periode 2-3 tahun. Mengapa demikian? Apakah nantinya peneliti yang berkerja pada riset terapan pada nganggur dan akhirnya fungsional mereka pada dihentikan sementara, akibatnya dapur keluarga mereka tidak ngebul.
Sebetulnya penghentian sementara riset terapan, bukan menghentikan semua kegiatan peneliti, tetapi kegiatannya diubah dan diarahkan kepada kegiatan pengembangan hasil penelitian. Sudah banyak hasil penelitian yang telah matang dan siap dimanfaatkan oleh petani, namun pada kenyataannya hanya beberapa yang sudah dikenal dan dipakai petani. Untuk itu, alokasi anggaran riset terapan perlu difokuskan kepada kegiatan diseminasi hasil penelitian melalui pembuatan dem area skala besar luasannya di setiap kabupaten atau kecamatan serta didukung berbagai pelatihan untuk para penyuluh lapang dan petani kooperator atau petani maju. Kegiatan ini bersifat keroyokan yang sinergi antara peneliti, penyuluh, petani, swasta, direktorat teknis, pemda, serta swasta/BUMN. Dengan demikian, peneliti di lembaga riset yang berkerja pada riset terapan diarahkan kegiatannya untuk mengawal pelaksanaan kegiatan diseminasi tersebut. Mereka langsung terjun ke lapang di lahan petani dan membantu pelaksanaan dem area tersebut, sambil mengenalkan inovasi baru. Selain itu, peneliti dan penyuluh dapat menggali umpan balik dari petani guna memperbaiki inovasi teknologi baru yang nantinya akan dikerjakan oleh peneliti yang melakukan penelitian dasar.

Namun berubahnya kegiatan penelitidari riset terapan menjadi agen diseminasi akan menimbulkan masalah yaitu penulisan karya tulis ilmiah. Apakah karya tulis mereka dari kegiatan dem farm dapat diterima oleh para penilai karya tulis, dalam hal ini oleh LIPI?. Tentunya perlu adanya pendekatan ke LIPI tentang hal ini. Bagaimanapun juga sebagian peneliti LIPI juga termasuk dalam kegiatan diseminasi tersebut. Selain itu, kegiatan peneliti tadi juga untuk mempercepat upaya pemerintah mencapai swasembada pangan.

Dimana sebaiknya dem area ditempatkan?. Pertanyaan ini susah-susah gampang dijawab. Saat ini telah ada wadah atau tempat untuk mempercepat kegiatan diseminasi hasil penelitian yaitu Agro Tekno Park yang dikembangkan oleh Kemristek (waktu itu) dan Laboratorium Lapang yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian. Dua wadah ini memliki tujuan yang sama yaitu mempercepat diseminasi hasil penelitian tetapi pendekatannya dan penempatan lokasinya yang beda. Menurut Kemristek, ATP adalah kawasan Iptek yang dibangun untuk memfasilitasi percepatan alih teknologi yang dihasilkan oleh lembaga litbang pemerintah, perguruan tinggi dan swasta, sekaligus sebagai percontohan pertanian terpadu bersiklus biologi (bio-cyclo farming). Pengembangan ATP mencakup tiga kegiatan utama, yaitu pertanian terpadu, alih teknologi hasil litbang LPNK Ristek, dan Agro Techno Edutourism. Lahan ATP umumnya milik Pemda setempat dan cukup luas bisa mencapai 100 ha. 

Tim Peneliti Puslitbangtan sedang wawancara dengan petani Tohe
Sedangkan Laboratorium Lapang (LL) dikembangkan oleh peneliti Badan Litbang Pertanian berkerjasama dengan Pemda setempat. Kegiatan LL dilaksanakan di lahan petani dengan luasan mencapai 50 ha tergantung biaya yang tersedia. LL yang dibangun pada tingkat kabupaten, merupakan media untuk menyampaikan dan mendiseminasikan inovasi teknologi dan media umpan balik untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan yang digunakan dalam laboratorium lapang adalah action research, partisipatif (dimana stakeholders Pemda diposisikan sebagai mitra kerja), berorientasi jangka menengah (5 tahun), berbasiskan sustainable dan pro lingkungan, demokratis, menerapkan paradigma systems of agricultural innovation, konsultatif, serta menggunakan pendekatan pendampingan dan dukungan. Sampai saat ini Badan Litbang Pertanian telah membangun beberapa laboratorium lapang di beberapa daerah, antara lain Aceh Timur (Aceh), Pakpak Bharat (Sumatera Barat), Oebola dan Belu (NTT), Kampung Juhut (Banten), Kalimantan Barat dan Kalmantan Timur. Selain itu, LL juga ditujukan untuk mempercepat pembangunan pertanian di kawasan perbatasan, yang umumnya memliki karakterisitik sebagai daerah tertinggal dengan potensi sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal.  Karena kegiatannya di lahan petani, maka tidak perlu dibangun infrastruktur tertentu. Sedangkan ATP memerlukan dukungan infrastruktur tertentu.

Menyikapi dua wadah atau wahana untuk pusat kegiatan diseminasi diatas, ada baiknya dilaksanakan secara bersama tanpa menghilangkan salah satu. Alasan utamanya, kita tetap harus memperhatikan karakter petani Indonesia bahwa mereka lebih percaya dengan inovasi baru kalau melihat langsung berada di lahan sekitar mereka. Oleh karena itu, perlu disikapi dengan bijak bahwa LL merupakan bagian dari ATP bukan dua wadah yang bersaing dalam kegiatan diseminasi. Ada baiknya ATP dipusatkan di ibukota provinsi atau kabupaten, sedangkan LL dipusatkan di kawasan pedesaan terutama di wilayah tertinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates