Pertanyaan diatas perlu dijawab dengan
argumen mungkin ya dan mungkin tidak. Tergantung sudut pandang kita
masing-masing dalam menyikapi hal tersebut. Untuk riset di bidang tanaman
pangan, kita masih memerlukan penelitian dasar guna menghadapi kondisi saat ini
dan yang akan datang, seperti perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk,
persaingan perdagangan komoditas dengan negara lain, upaya peningkatan
kesejahteraan petani dan sekaligus upaya pencapaian swasembada pangan.
Sedangkan untuk riset terapan di bidang tanaman pangan, ada baiknya kita
berfikir kembali. Untuk riset terapan yang bersifat pengujian, jawabannya “yes”
kita harus terus melakukan. Sedangkan untuk riset terapan yang lainnya, ada
baiknya dihentikan sementara selama periode 2-3 tahun. Mengapa demikian? Apakah
nantinya peneliti yang berkerja pada riset terapan pada nganggur dan akhirnya
fungsional mereka pada dihentikan sementara, akibatnya dapur keluarga mereka
tidak ngebul.
Sebetulnya penghentian sementara riset
terapan, bukan menghentikan semua kegiatan peneliti, tetapi kegiatannya diubah
dan diarahkan kepada kegiatan pengembangan hasil penelitian. Sudah banyak hasil
penelitian yang telah matang dan siap dimanfaatkan oleh petani, namun pada kenyataannya
hanya beberapa yang sudah dikenal dan dipakai petani. Untuk itu, alokasi
anggaran riset terapan perlu difokuskan kepada kegiatan diseminasi hasil
penelitian melalui pembuatan dem area skala besar luasannya di setiap kabupaten
atau kecamatan serta didukung berbagai pelatihan untuk para penyuluh lapang dan
petani kooperator atau petani maju. Kegiatan ini bersifat keroyokan yang
sinergi antara peneliti, penyuluh, petani, swasta, direktorat teknis, pemda,
serta swasta/BUMN. Dengan demikian, peneliti di lembaga riset yang berkerja
pada riset terapan diarahkan kegiatannya untuk mengawal pelaksanaan kegiatan
diseminasi tersebut. Mereka langsung terjun ke lapang di lahan petani dan
membantu pelaksanaan dem area tersebut, sambil mengenalkan inovasi baru. Selain
itu, peneliti dan penyuluh dapat menggali umpan balik dari petani guna
memperbaiki inovasi teknologi baru yang nantinya akan dikerjakan oleh peneliti
yang melakukan penelitian dasar.
Namun berubahnya kegiatan penelitidari riset terapan menjadi agen diseminasi akan menimbulkan masalah yaitu
penulisan karya tulis ilmiah. Apakah karya tulis mereka dari kegiatan dem farm
dapat diterima oleh para penilai karya tulis, dalam hal ini oleh LIPI?.
Tentunya perlu adanya pendekatan ke LIPI tentang hal ini. Bagaimanapun juga
sebagian peneliti LIPI juga termasuk dalam kegiatan diseminasi tersebut. Selain
itu, kegiatan peneliti tadi juga untuk mempercepat upaya pemerintah mencapai
swasembada pangan.
Dimana sebaiknya dem area
ditempatkan?. Pertanyaan ini susah-susah gampang dijawab. Saat ini telah ada
wadah atau tempat untuk mempercepat kegiatan diseminasi hasil penelitian yaitu
Agro Tekno Park yang dikembangkan oleh Kemristek (waktu itu) dan Laboratorium
Lapang yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian. Dua wadah ini memliki tujuan
yang sama yaitu mempercepat diseminasi hasil penelitian tetapi pendekatannya
dan penempatan lokasinya yang beda. Menurut Kemristek, ATP adalah
kawasan Iptek yang dibangun untuk memfasilitasi percepatan alih teknologi yang
dihasilkan oleh lembaga litbang pemerintah, perguruan tinggi dan swasta,
sekaligus sebagai percontohan pertanian terpadu bersiklus biologi (bio-cyclo
farming). Pengembangan ATP mencakup tiga kegiatan utama, yaitu pertanian
terpadu, alih teknologi hasil litbang LPNK Ristek, dan Agro Techno
Edutourism. Lahan ATP
umumnya milik Pemda setempat dan cukup luas bisa mencapai 100 ha.
Sedangkan Laboratorium Lapang (LL)
dikembangkan oleh peneliti Badan Litbang Pertanian berkerjasama dengan Pemda
setempat. Kegiatan LL dilaksanakan di lahan petani dengan luasan mencapai 50 ha
tergantung biaya yang tersedia. LL yang
dibangun pada tingkat kabupaten, merupakan media untuk
menyampaikan dan
mendiseminasikan inovasi teknologi
dan media umpan balik untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi
sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan yang digunakan dalam laboratorium lapang
adalah action research, partisipatif (dimana stakeholders
Pemda diposisikan sebagai mitra kerja), berorientasi jangka menengah (5 tahun),
berbasiskan sustainable dan pro lingkungan, demokratis, menerapkan paradigma
systems of agricultural innovation, konsultatif, serta menggunakan pendekatan
pendampingan dan dukungan. Sampai saat ini Badan Litbang Pertanian telah
membangun beberapa laboratorium lapang di beberapa daerah, antara lain Aceh
Timur (Aceh),
Pakpak Bharat (Sumatera Barat), Oebola
dan Belu (NTT),
Kampung Juhut (Banten),
Kalimantan Barat dan Kalmantan Timur. Selain itu, LL juga ditujukan untuk
mempercepat pembangunan pertanian di kawasan perbatasan, yang umumnya memliki
karakterisitik sebagai daerah tertinggal dengan potensi sumberdaya alam yang
belum dimanfaatkan secara optimal. Karena kegiatannya di lahan petani,
maka tidak perlu dibangun infrastruktur tertentu. Sedangkan ATP memerlukan
dukungan infrastruktur tertentu.
Menyikapi dua wadah atau wahana untuk
pusat kegiatan diseminasi diatas, ada baiknya dilaksanakan secara bersama tanpa
menghilangkan salah satu. Alasan utamanya, kita tetap harus memperhatikan
karakter petani Indonesia bahwa mereka lebih percaya dengan inovasi baru kalau
melihat langsung berada di lahan sekitar mereka. Oleh karena itu, perlu
disikapi dengan bijak bahwa LL merupakan bagian dari ATP bukan dua wadah yang bersaing dalam
kegiatan diseminasi. Ada baiknya ATP dipusatkan di ibukota provinsi atau kabupaten, sedangkan LL dipusatkan di kawasan pedesaan terutama di wilayah tertinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar