Social Icons

Pages

Jumat, 02 September 2016

Peran ilmu pengetahuan dalam penyediaan pangan bergizi (Bag. 1)



Kerusuhan yang melanda Afrika pada tahun 2007 dan 2008 dalam menanggapi mahalnya harga bahan pokok makanan membawa dampak kekurangan pangan. Foto/video kerusuhan menjadi tontonan dunia dan konsekuensi dari ketidakstabilan tersebut menjadi topik utama perdebatan politik dengan pertanyaan yang telah menjadi perhatian adalah: bagaimana kita dapat memastikan semua orang memiliki akses ke makanan dan nutrisi yang cukup dan aman?. Ketahanan pangan merupakan isu yang menyentuh semua aspek dari agenda pembangunan mulai dari pertanian dan pengelolaan lingkungan sampai ke sektor ekonomi, tata kelola pemerintahan dan kesetaraan sosial. Hal ini juga merupakan tantangan tanpa solusi sederhana.

Tapi suatu hal yang jelas. Jika produksi makanan naik 70 persen pada tahun 2050 dapat memberi makan jumlah populasi yang meningkat, sebagai prediksi dari FAO bahwa upaya ini harus dilakukan. Bagaimana untuk mencapai lompatan jumlah produksi pangan yang berkelanjutan tersebut merupakan "salah satu pertanyaan besar", kata Sieg Snapp, seorang profesor bidang tanah dan sitem tanaman di Michigan State University di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar sepuluh miliar orang akan hidup di bumi pada tahun 2050. Peningkatan produksi pangan diperlukan untuk memberi makan kepada mereka ketika sumber daya untuk membudidayakan tanaman pangan terdesak oleh urbanisasi, degradasi lingkungan dan persaingan lahan untuk biofuel dan ternak. Selama Revolusi Hijau dari abad terakhir, ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki efek transformatif pada pertanian. Namun pada abad ke-21, apakah keduanya masih merupakan kunci untuk keamanan pangan jangka panjang? Atau akan menjadi solusi terhadap kerawanan pangan yang ditemukan dalam perubahan struktural, politik dan sosial yang lebih dalam?

Minggu, 14 Agustus 2016

Penduduk di lahan kritis tertinggal dari pertumbuhan ekonomi



Riset menunjukkan bahwa para petani yang tinggal di lahan terdegradasi di banyak negara berkembang tidak dapat memanfaatkan pertumbuhan ekonomi. Sebuah paper yang diterbitkan dalam PLOS One (www.plos.org) menyatakan bahwa kemampuan ekspansi ekonomi untuk mengurangi kemiskinan secara keseluruhan turun secara signifikan di banyak negara antara tahun 2000 sampai 2010 sebagai akibat meningkatnya lahan pertanian yang mengalami degradasi. Para peneliti memperkirakan bahwa jumlah orang yang hidup di lahan kritis tumbuh 12,4 persen selama satu dekade ini, jumlahnya saat ini sekitar 1,5 miliar orang - di antaranya 1,4 miliar hidup di negara berkembang. Daerah ini merupakan kantong-kantong kemiskinan. Penduduk daerah ini tidak memiliki uang atau aset untuk berinvestasi dalam meningkatkan kesuburan tanah mereka, sehingga masalah terus berlanjut.

Untuk studi mereka, para peneliti membandingkan data satelit pada produktivitas lahan pertanian dengan distribusi penduduk pedesaan, pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan di 83 negara-negara berkembang. Pada paper tersebut dijelaskan bahwa hidup di lahan terdegradasi membatasi panen dan keuntungan bagi keluarga petani, meniadakan manfaat yang dibawa oleh pertumbuhan ekonomi secara umum, seperti halnya akses pasar yang lebih baik dan investasi dalam praktek pertanian modern. Tim peneliti tidak mengkaji mengapa semakin banyak orang bekerja di lahan pertanian yang terdegradasi. Tetapi diduga bahwa lahan pertanian yang terbaik semakin didominasi oleh pertanian komersial skala besar, hal ini mendorong petani  miskin beralih ke lahan yang murah dan berkualitas rendah.

Seorang peneliti dari IFPRI memperingatkan bahwa degradasi lahan juga mempengaruhi negara-negara berpenghasilan tinggi, di mana meningkatnya penggunaan pupuk untuk menyembunyikan masalah. Dampak degradasi lahan jauh lebih parah pada penduduk yang tidak memiliki sumber daya untuk menutupinya. Tetapi hal itu adalah masalah global, bukan hanya masalah negara berkembang.

Rusaknya lahan pertanian dapat diselamatkan melalui langkah-langkah seperti perbaikan kesuburan tanah, penanaman beragam tanaman (diversifikasi tanaman) dan irigasi yang lebih baik. Paper ini juga menyatakan bahwa jika lebih banyak penduduk yang mengusahakan lahan pertanian yang telah diperbaiki, akan memperbesar kemampuan suatu negara untuk mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi. Misalnya, studi kasus dari Economics of Land Degradation Initiative yang mendanai riset ini, menunjukkan bahwa rotasi lahan penggembalaan akan memulihkan lahan yang terdegradasi dan meningkatkan pendapatan para penggembala di Yordania. Tetapi di daerah di mana lahan yang terdegradasi belum ada upaya perbaikan, mungkin masuk akal untuk mendorong para petani untuk mencari peluang di tempat lain.

Sumber:        

Senin, 08 Agustus 2016

Akses langsung ke lembaga riset, memberikan ide segar kepada petani



Suatu model riset klaster yang bekerja untuk petani rumput laut di Zanzibar harus diadopsi secara luas, kata Bunga Msuya. Hasil studi ilmiah kurang bermanfaat bagi petani kecuali mereka berasal dari riset terapan yang dapat meningkatkan hasil pekerjaannya untuk kehidupan mereka. Riset semacam ini dapat mejadikan metode inovatif yang membantu petani rumput laut untuk meningkatkan pendapatan lebih banyak dengan memproduksi tanaman berkualitas tinggi atau menambah nilai  rumput laut mereka dengan memprosesnya terlebih dahulu daripada menjual bahan mentah. Tapi hasil riset sering gagal mencapai orang-orang yang dapat mendapatkan keuntungan dari riset tersebut. Untuk menghindari hal ini, Zanzibar Seaweed Cluster Initiative (ZaSCI) telah mempraktekan riset berbasis cluster, pendekatan yang telah meningkatkan riset penerapan selama sepuluh tahun terakhir dengan hasil yang menarik.

Hubungan langsung ke riset
Dua fitur yang membedakan riset berbasis klaster dari bentuk-bentuk riset lainnya. Salah satunya adalah tantangan yang dibawa kepada para ilmuwan oleh komunitas tertentu, seperti petani. Sedangkan yang lain adalah temuan riset yang diinfokan kembali ke kelompok riset tersebut sebagai umpan balik langsung, yang kemudian mereka gunakan untuk meningkatkan kegiatan sehari-hari mereka. ZaSCI merupakan contoh baik bagaimana program riset cluster dapat menghubungkan petani langsung dengan lembaga penelitian. Dua jenis rumput laut yang dibudidayakan di pulau Tanzania Zanzibar: cottonii dan spinosum. Cottonii merupakan komoditas rumput laut dengan permintaan yang lebih tinggi karena memiliki banyak aplikasi dalam proses industri dibanding spinosum (misalnya dalam industri makanan dan kosmetik) dengan harga 50 sen $ AS per kilogram, harganya dua kali lipat dari rumput laut lainnya. Tapi cottonii telah gagal berkembang dalam beberapa tahun terakhir karena dampak perubahan iklim, seperti halnya peningkatan suhu permukaan air laut dan penyakit telah mencegah berkembangnya rumput laut tersebut di banyak daerah dan telah menurunkan produksinya di beberapa tempat yang masih dapat tumbuh.

Rabu, 03 Agustus 2016

SDG mengabaikan ancaman penggunaan pupuk berlebihan



Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) gagal untuk mengatasi salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak di planet ini, yaitu perubahan siklus nitrogen dan fosfor dalam tanah, suatu pertemuan yang membahas tujuan telah terdengar. Menurut Dann Sklarew, seorang ilmuwan lingkungan dari George Mason University, Amerika Serikat, kekhilafan ini dapat membuat lubang kelemahan dari keberhasilan mayoritas tujuan SDG. Penggunaan fosfor dan nitrogen untuk menyuburkan lahan pertanian dikawatirkan akan memperburuk upaya peningkatan produksi pangan yang diperlukan untuk memenuhi usulan SDG 2, yang targetnya mengatasi kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Hal ini dapat menyeberang  batas planet yang berhubungan dengan kesehatan sistem tanah dan air di bumi.

Sklarew mengatakan dalam pertemuan think-tank Wilson Center bahwa krisis iklim juga perlu difikirkan selain perlu memikirkan siklus nitrogen dan fosfor sebagai krisis. Petani sering mengandalkan pupuk nitrogen dan fosfor yang meningkatkan nutrisi tanah, tetapi dapat merusak lingkungan lainnya. Misalnya, pupuk yang mengalami pencucian dari suatu lahan telah menyebabkan 'zona mati' di Teluk Meksiko, di mana pertumbuhan alga telah mengurangi jumlah oksigen terlarut sehingga ikan tidak dapat bertahan hidup. Siklus fosfor dan nitrogen lingkungan lambat, hal ini berarti proses alami tersebut mengarah ke gangguan jangka panjang. Menurut Sklarew, SDG 2 dan tujuan lain yang terkait gagal untuk mempertimbangkan bagaimana dapat menghindari batas pupuk yang berada diatas ambang kapasitas bumi. Kegagalan untuk menjaga nitrogen alami dan sumber daya fosfor juga akan menghambat kemajuan menuju beberapa tujuan lain yang diusulkan, termasuk melindungi persediaan air tawar (SDG 6) dan kesehatan ekosistem perairan (SDG 14), dan membuat kota yang berkelanjutan (SDG 11).

Namun tujuan tersebut tidak sepenuhnya mengabaikan masalah: SDG 14 mencakup target untuk mengurangi pencemaran laut dari nutrisi sumber daratan. Namun demikian, tujuan khusus ini gagal untuk mengkaitkan masalah ini dengan pertanian. Tidak ada yang pernah mengatakan bahwa pertanian berkelanjutan berarti jika anda ingin produktivitas yang tinggi, jangan mengirim nutrisi anda ke hilir. Sklarew mengatakan para pembuat kebijakan harus mengubah SDG 2 untuk menyertakan referensi untuk melestarikan dan daur ulang nutrisi dalam kehidupan masyarakat.  Manish Bapna, direktur US think-tank World Resources Institute, setuju, bahwa tidak ada yang nyata, batas planet kuat tertanam pada tujuan dimana pembangunan harus dicita-citakan. Dia setuju bahwa dimensi keberlanjutan telah tertanam dalam setiap tujuan dan isu-isu ekologi dan lingkungan tercakup dengan baik, terutama dalam tujuan 13 sampai 15 yang ditetapkan untuk memerangi perubahan iklim dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Namun, belum dapat melangkah cukup jauh. Bapna berharap negara-negara akan membangun sambil menggunakan sumber daya alam secara cerdas tanpa undang-undang, seperti contohnya menyetujui batas hukum pada penggunaan fosfor dan nitrogen akan menjadi rumit.

Sumber:

Sabtu, 23 Juli 2016

Bagaimana ilmu pengetahuan harus memberi makan ke Agenda 2030



Agenda 2030 dan pusatnya, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), menyerukan adanya transformasi dalam cara masyarakat berinteraksi dengan planet dan satu sama lain. Transformasi ini akan membutuhkan teknologi baru, pengetahuan baru dan cara-cara baru untuk penataan masyarakat dan perekonomian. Penelitian ilmiah jelas memiliki peran sentral. Tetapi, apakah inovasi merupakan satu-satunya cara yang dapat berkontribusi? Måns Nilsson, penulis artikel ini, merupakan anggota dari kelompok ahli independen yang didirikan oleh Komisi Eropa untuk memberikan saran tentang peran ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi (science, technology and innovation =ST&I) dalam melaksanakan agenda pembangunan global berkelanjutan yang terbaru. Para ahli tersebut mengidentifikasi banyak aspek, kadang-kadang tak terduga, peran potensial dari aspek ST&I, dan membuat beberapa rekomendasi tentang bagaimana untuk memaksimalkan manfaatnya.  Menurut Nisson, ada tiga peran utama untuk ST&I yaitu mencirikan tantangan, menyediakan solusi, dan memperkuat lembaga-lembaga publik dan masyarakat.

Sabtu, 16 Juli 2016

Lemahnya keterkaitan menghambat berbagi pengetahuan di bidang pertanian



Lembaga penyuluhan pertanian merupakan bagian dari struktur administrasi pedesaan di sebagian besar negara yang bertugas membantu menyebarkan informasi dan mengembangkan proyek. Selama beberapa dekade, lembaga tersebut telah diambil perannya sebagai perantara atau agen dalam jaringan organisasi dan individu yang menciptakan dan mengelola sumber daya pertanian baru – yang dikenal dengan sebutan Sistem Inovasi Pertanian. Agen penyuluh pertanian secara rutin mengkomunikasikan pengetahuan dan inovasi baru dari para peneliti kepada petani untuk membantu meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada intinya, mereka merupakan agen/perantara ilmu pengetahuan – bertugas untuk melakukan mediasi antara mereka yang memproduksi pengetahuan dan mereka yang membutuhkannya, dan kadang-kadang mengemas ulang atau menambah nilai pengetahuan yang ada pada topik tertentu. Akan tetapi Sistem Inovasi Pertanian menjadi lebih kompleks: proses pertanian dan tuntutan pemangku kepentingan telah berubah serta teknologi informasi menjadi lebih menonjol.  Hal ini telah membawa tantangan baru, seperti meningkatnya biaya, memperlebar jurang antara mereka yang memiliki pengetahuan baru dan mereka yang membutuhkannya.

Minggu, 10 Juli 2016

Pendekatan yang salah terhadap dampak riset



Wabah demam Rift Valley (sejenis demam yang terjadi akibat serangan virus zoonosis hewan ternak) di Uganda menununjukkan pelajaran penting bagi pemikiran saat ini tentang pentingnya investasi dalam penelitian untuk pembangunan global. Apa yang terjadi di Uganda cukup familiar - pelajaran yang sama telah datang sebelumnya. Langkah-langkah pengendalian epidemiologi yang dirancang untuk membatasi penyebaran penyakit tidak sepenuhnya mempertimbangkan realitas bagi masyarakat yang terkena dampak. Dalam hal ini, apa yang harus dimakan oleh masyarakat miskin pedesaan, atau usahatani, jika penjualan susu dan daging dilarang? Juga saluran komunikasi resmi yang digunakan untuk membangkitkan alarm kesehatan masyarakat, bukan tokoh masayarakat yang dipercaya. Dalam diskusi tentang ilmu untuk pembangunan, ada sering disebut riset kontekstual sehingga dapat memiliki dampak dan nilai riset seperti itu tampak jelas. Jadi, mengapa kesalahan ini terus terjadi? Pertanyaannya tersebut sangat penting, bukan hanya karena menyangkut mata pencaharian dan nyawa yang dipertaruhkan, tetapi juga karena tren dalam pendanaan riset cenderung meningkatkan frekuensi kesalahan tersebut. Ironisnya, meningkatnya kepedulian lembaga pembangunan dengan dampaknya justru menambah kendala untuk mempelajari apa yang dapat memberikan hasil.
 
Blogger Templates